RESENSI BUKU:
BURUNG-BURUNG
MANYAR
Karya YB.
Mangunwijaya
Oleh: Dara Nuzzul
Ramadhan*
Judul Buku : Burung-Burung Manyar
Pengarang : Y.B Mangunwijaya
Penerbit : Djambatan
Tahun :
2007
ISBN :
978-979-428-528-2
Jumlah Halaman : 319 Halaman
Roman Burung-Burung Manyar adalah roman yang bisa kita bilang
menceritakan pengalaman batin seorang laki-laki keturunan ningrat, asli
Indonesia, yang berpihak kepada Belanda dibanding berpihak kepada Indonesia,
tanah airnya sendiri. Membacanya menambah sudut pandang kita terhadap peristiwa
yang terjadi pada masa prakemerdekaan dan pascakemerdekaan. Pasalnya, Selama
ini yang kita ketahui adalah sejarah-sejarah dari sudut pandang bangsa
Indonesia yang pro terhadap republik ini sendiri. Sedangkan pada novel ini, YB.
Mangunwijaya, Sang Penulis memberikan sudut pandang baru mengenai sejarah
Indonesia dari sudut pandang pihak yang kontra terhadap republik.
Dilihat dari ketebalannya, buku ini bisa dibilang tidak terlalu tebal dibanding
novel Pasar karya Kuntowijoyo, atau Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang
sama-sama bermuatan sejarah. Tebal buku ini hanya 319 halaman. Sampul depannya berwarna putih dengan hiasan
burung-burung manyar kecil yang berterbangan di sekitar judul roman. Burung-burung itu datang dari sampul belakang
yang juga berlatarkan putih. Begitu kita membuka buku itu pada halaman paling
pertama, dibalik sampul depan, di halaman sebelah kiri, kita dapat menemukan
pandangan tokoh-tokoh seperti H.B Jassin, Jakob Sumardjo, Subagio Sastrowardoyo,
Parakriti, Marianne Katoppo, dan Prihatmi mengenai roman ini. Kebanyakan
berpendapat bahwa isi roman ini dahsyat, berani, kaya makna dan dalam. Menarik
bukan? Saking menariknya, buku yang saya baca ini merupakan buku yang sudah
mengalami cetakan kelima belas, yaitu pada Januari 2007. Padahal buku ini
dirilis pertama kali pada Agustus 1981.
YB. Mangunwijaya adalah seorang tentara, seorang pastor, seorang penulis,
sekaligus seorang arsitek. Nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya.
Ia lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 6 Mei 1992 dan meninggal pada 10
Februari 1999. Semasa hidupnya,
Laki-laki yang biasa dipanggil Romo Mangun ini banyak bergerak dalam aksi
memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia pernah ikut dalam pertempuran di
Ambarawa dan Magelang, Menjadi pastor agar terus berhubungan dengan rakyat
kecil pada usia 21, menata rumah warga di pinggir kali Code, ikut membela warga
waduk Kedung Ombo pada 1986, dan mendirikan SD Kanisius Mangunan di Kalasan,
Yogyakarta pada 1944.
Dalam dunia kepenulisan, Sejak 1975 sampai 1986 setidaknya ada 36 karya
tulis yang diterbitkan oleh Romo Mangun. Tulisan itu berupa karya fiksi maupun
nonfiksi. Burung-Burung Manyar adalah salah satu karya tulis fiksinya yang
mendapat penghargaan dua sekaligus: dari pemerintah Thailand yaitu penghargaan South
East Asia Write Award pada 1984 dan Penghargaan Ramon Magsaysay Award,
penghargaan sastra se-Asia Tenggara, pada 1996.
Burung-Burung Manyar mengambil latar waktu sebelum kemerdekaan Indonesia
dan sesudah kemerdekaan Indonesia, tepatnya dimulai dari 1934 sampai
1978.Sedangkan untuk latar tempatnya Roman yang pernah diterbitkan dalam bahasa
Jepang, Belanda, dan Inggris ini mengambil latar tempat di Surakarta, Jakarta,
dan Yogyakarta. Burung-Burung Manyar mengambil sudut pandang Setadewa, atau
yang biasa dipanggil Teto, seorang anak keturunan ningrat sekaligus letnan
Belanda. Di awal cerita kita bisa melihat sendiri pengakuannya.
“Pernah
dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok.
Garnisun divisi II Magelang (ucapkan:MaKHelang). Bukan divisi TNI dong, Kan aku
sudah bilang: totok. Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku
loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa! DAN Keraton! Semula tergabung
dalam Legiun Mangkunegara. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde
langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Terus
terang Papi tidak suka pada raja-raja inlander,… Soalnya papi suka hidup bebas
model Eropa,…” (Halaman 3)
Sejak
membaca pembukaan dari buku ini kita jelas sudah bisa menangkap ada kesan
bangga di diri Teto terhadap Belanda. Begitu
KNIL kalah oleh Jepang, Papinya aktif dalam gerakan bawah tanah bersama dengan
tokoh nasionalis Indonesia. Sayangnya, Papinya tertangkap dan yang membuat
lebih miris lagi, Maminya harus dijadikan gundik Jepang agar Papinya tetap
hidup. Dari situ dimulailah kebencian Teto terhadap bangsa Indonesia.
“Dan
semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk itu
pengkhianat-pengkhianat Soekarno Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut
Indonesia, yang membongkok-bongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun
oleh hasutan Soekarno: “Inggris kita linggis! Amerika kita seterika! Dai
Nippon, banzai!” sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi: menjadi
KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyat yang bodoh, pengecut
tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba
kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi
mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik.” (Halaman 42)
Keadaan berjalan terbalik dengan kisah Atik, seorang anak perempuan
keluarga ningrat yang masih memiliki hubungan saudara dengan Papinya Teto.
Perempuan yang dijuluki larasati itu selalu mendapatkan kesenangan dalam
hidupnya (meskipun berada dalam masa penjajahan Jepang). Semasa kecil hidupnya selalu
bahagia bisa mengeksplor hutan bersama ayahnya yang merupakan pegawai Dinas
Kebun Raya Bogor, ditambah lagi prestasinya selalu gemilang (hingga dewasa ia
menjadi perempuan yang ahli dalam berdiplomasi). Teto yang menyukai Atik
mengalami pergolakan batin, karena perempuan yang sangat mengagumi Soekarno itu
berada di pihak yang ia benci.
Serangan Belanda ke Yogyakarta pascakemerdekaan
Indonesia membuat Ayah yang sangat disayangi Atik meninggal dunia. Dari peristiwa
itu, semangat Atik untuk Indonesia merdeka semakin besar. Sekilas, dua motif
anak manusia ini jelas saling bertolak-belakang dan rasanya tidak mungkin
mereka bersatu. Akan tetapi, nyatanya keduanya terus saling mencari satu sama
lain terlepas dari pilihan politik dan ambisinya masing-masing. Pada akhirnya,
kekalahan Belanda dalam sejarah Republik Indonesia juga semakin membuat Teto yang
sudah bergabung dengan NICA hilang harga diri.
Penokohan dalam Roman Burung-Burung
Manyar tidak berakhir menjadi kotak-kotak berwarna hitam dan putih. Pilihan terakhir hidup Teto untuk menjadi menejer
produksi di Pacific Oil Wells Company membuat kita bisa melihat bahwa Teto
adalah tokoh yang bijak dan berani, yang membuat Atik selalu ingin dekat-dekat
dengannya. Teto yang merupakan ahli komputer menemukan rumus matematika yang
keliru yang membuat negara Indonesia banyak mengalami kerugian. Ia berniat
membongkar kecurangan perusahaannya meskipun itu berarti mengancam jabatannya.
Tapi Teto bukanlah manusia yang penuh akan nafsu seperti Teto yang dulu. Kini ia
lebih tenang.
“Saya
telah bersumpah di hadapan profesor dan pembina karirku, Prof. Thomson Mc.
Kenzie almarhum, yang menuntun saya dalam lika-liku rahasia rumus-rumus serta
model-model matematika, dan yang berulang-kali berkata kepadaku: “Seta, Anda
kelak akan menghadapi banyak godaan curang dalam dunia komputer. Seperti dalam
dunia pengobatan pun. Sayang tetapi nyata, hal itu sering terjadi. Banyak
dibuat penipuan, tetapi penipuan legal. Saya mengharap kepadamu, muridku,
semogalah anda menjadi pengabdi kemanusiaan. Dan bukan pengabdi suatu korupsi
atau pihak kepentingan”. (Halaman 213)
Di akhir cerita kita mulai berharap alur cerita roman ini akan berakhir
bahagia ketika Atik dan Teto sudah bersatu lagi selayaknya abang dan adik yang
lama sudah terpisah, meskipun kita tahu bahwa sesungguhnya cinta mereka lebih
dari hubungan seorang adik dan abang. Akan tetapi, Romo Mangun seperti ingin
menunjukan bahwa hidup ini absurd. Atik yang hendak pergi berhaji dengan
suaminya harus meninggalkan Teto untuk selamanya karena kecelakaan pesawat.
Atik meninggalkan ketiga anaknya yaitu Teto kecil, Padmi, dan Kris. Ketiga anak
Atik ini akhirnya menjadi anak angkat Teto yang seorang duda.
Buku Roman ini dilengkapi catatan kaki yang menjelaskan istilah-istilah
yang terdengar asing. Catatan kaki itu sangat membantu pembaca untuk mengerti
konteks yang dimaksud dalam cerita. Kronologis cerita berjalan linier sehingga
mudah diikuti. Roman ini cocok dibaca oleh kalangan remaja, mahasiswa, dan
dewasa karena isu yang dibawa bukan hanya mengenai sejarah, politik atau cinta
tetapi juga tentang keluarga dan idealisme.
Romo Wangun dengan gaya khas berceritanya banyak menggunakan kalimat
majemuk di dalam cerita ini. Hal itu membuat pembaca kadang agak merasa lelah
ketika membacanya. Akan tetapi, itu hanyalah satu kekurangan diantara banyaknya
kelebihan yang dimiliki roman ini.
*Penulis
adalah mahasiswa semester tujuh jurusan Sastra Indonesia, aktif sebagai
sekretaris umum dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Teater Teksas dan sedang menjadi
Volunteer di International Relation Office untuk program Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing.
Komentar
Posting Komentar