Hahahihi
Oleh: Syarifudin Emseh
Hahahihi.
Setiap
hari, ketika bangun tidur, Iqan harus selalu berkata demikian (seperti suara
orang tertawa) supaya menghindari dari gangguan kejiwaan yang bisa menyebabkan
kematian. Orang-orang di tempat tinggalnya pun rentan akan penyakit kejiwaan
sebab dunia selalu memenuhi isi kepala mereka hingga overload. Menjadi beban. Sehingga mau tak mau mereka harus tertawa.
Humor
adalah makanan pokok di tempat tinggalnya, setelah perangkat-perangkat keras.
Jika sampai kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka ada saja kasus kematian konyol
yang bakal tayang di televisi. Mulai dari mati karena makan sendok hingga mati
karena terpeleset. Sebagian menganggap ironi, tapi di sisi lain ada juga yang
menganggap kematian konyol adalah humor yang sangat segar.
Tidak
ada yang terlalu peduli dengan kematian, sebab orang-orang selalu mencari cara
untuk tertawa. Dan di antara hal yang paling mulia ialah menjadi seorang
komedian yang bisa menyelamatkan banyak orang dari kematian yang konyol.
Membuat hidup menjadi lebih sulit daripada kisah dongeng.
*
Senin
pagi, ditemukan seorang laki-laki tewas karena terpeleset di kamar mandi
rumahnya. Kepalanya masuk ke dalam kloset. Lebih detailnya, karena lehernya
tertusuk garpu. Tidak ada yang lebih tahu pasti penyebab kematian konyol ini.
Tapi banyak orang berasumsi kalau ia kekurangan humor. Terlalu banyak humor
garing sehingga selalu terdengar hahahihi.
Keadaan menjadi genting.
Sementara
keluarga yang ditinggalkan mengubur mayat laki-laki yang malang ini bersamaan
dengan televisi. Sebagaimana permintaan almarhum ketika masih hidup.
*
Senin
siang, seorang perempuan muda yang tampak seksi harus mengakhiri hidupnya
cuma-cuma sebagaimana harga dirinya. Tidak ada yang lebih konyol ketimbang mati
karena tertusuk jarum ketika hendak memakai BH. Tepat di dadanya, bersarang di
sana.
Ternyata
usut punya usut, sebelumnya matanya sempat terkena busa shampoo yang masih tersisa. Dan begitulah kematian konyol ada di
hari yang sama. Ada asumsi perempuan yang malang ini kekurangan humor.
*
Senin
malam, terjadi lagi kasus kematian di daerah tempat tinggal Iqan. Yang paling
konyol dibandingkan kasus kematian-kematian sebelumnya. Kali ini dialami oleh
laki-laki yang gagal merayu seorang perempuan. Membuat malam tidak seindah
langit kala itu, sebagaimana ketika ia berusaha untuk memberikan kata-kata yang
paling cinta kepada si perempuan.
Si
laki-laki mati karena tertancap bintang di dadanya. Bukan bintang dari langit,
tetapi pisau yang bentuknya seperti bintang. Sengaja dilemparkan oleh si
perempuan, sebab si laki-laki menyebutkan kata “bintang”. Bintang adalah orang
yang telah memperkosa si perempuan berpuluh-puluh kali. Mirisnya, orang itu
berkelamin perempuan juga.
*
“Tidak
ada humor lagi di tevelisi. Penuh teror,”
kata Ayah Iqan. “Kematian konyol. Apakah dibuat-dibuat? Atau memang
kehidupan sudah menjadi lebih gila?”
“Kehidupan
penuh teror, Papa. Jangan nyalakan televisi lagi!” bentak Ibu Iqan. Langsung
mematikan televisi yang ditonton oleh keluarga Iqan.
“Akankah
tragedi dua puluh tahun lalu terulang lagi?” gumam Ayah Iqan, memandangi
istrinya dan keluarganya dengan pandangan yang mencemaskan. Semuanya jadi
ikutan cemas. Di dalam kepala mereka, ada badai yang berkecamuk. Penuh kemelut.
Ada teror di tiap detak jam dinding, sehingga membut jantung berdebar-debar.
“Kematian
konyol di mana-mana!”
Suasana
menjadi menegangkan. Ibu Iqan teriak keras sekali. Wajahnya penuh ketakutan.
Dan dari luar sayup-sayup terdengar pula teriakan ibu-ibu disusul gonggongan
anjing. Malam menjadi kacau dan berisik. Tidak ada tidur nyenyak malam itu.
“Tenangkan
diri dulu,” ucap suaminya, sembari memberikan segelas es teh kesukaannya,
“tertawalah! Ingat, hidup selalu punya sisi untuk ditertawakan.”
“Mengapa
begini?”
“Mengapa
begitu?”
“Mengapa
begini?”
“Mengapa
begitu?”
Sebenarnya
mereka sedang bernyanyi, hanya lupa lirik selanjutnya, dan lupa pula nadanya
seperti apa. Ada yang aneh, malam jatuh tiba-tiba dari langit-langit.
*
Hahaha hihihi.
Sudah
hampir sebulan tidak ada humor segar yang muncul di dalam kehidupan orang-orang
di daerah tempat tinggal Iqan. Banyak orang mati konyol. Sudah tidak ada hutan
di dalam diri mereka. Kehidupan mereka serba gersang dan sekarat. Ibarat gurun,
badai pasir selalu datang hampir tiap waktu. Mengacaukan segalanya.
Di
antara kekacauan macam itu, ada beberapa orang yang berusaha mencetuskan komedi
tunggal untuk memperbaiki kondisi saat ini meskipun tidak terlalu masif.
Lantaran hidup selalu dipenuhi teror, maka tertawalah sepuas-puasnya. Agar
teror menjadi tenggelam, meskipun kematian datang tiba-tiba.
Iqan
berniat untuk ikut komedi tunggal tersebut. Alasannya karena ia tidak ingin
dirinya dan keluarganya mati konyol lantaran kekurangan humor di televisi.
Memang sudah tidak ada humor di televisi.
Tapi
ayah dan ibunya tidak setuju dengan keinginan Iqan.
“Kenapa
ibu dan bapak melarangku untuk ikut komedi tunggal?” tanya Iqan menyampaikan
keluh-kesahnya. Ayahnya memegang pundaknya, menatapnya baik-baik dan dalam
supaya Iqan dapat mengerti.
“Situasi
menjadi gila, nak,” jawab ayahnya dengan nada yang berat, dihembuskan nafasnya.
Khawatir tampak dalam raut wajahnya. “Ayah sangat khawatir sesuatu yang konyol
terjadi padamu.”
“Tidak
ada yang tahu. Tapi situasi akan menjadi kacau kalau kita hanya diam saja. Dan
itu semua tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik. Ayah pernah berkata
demikian pula.”
“Ada
teror di dalam mimpi ayah.”
Ibunya
yang sedari tadi hanya diam, kini mulai menangis. Begitu menyedihkan.
Seolah-olah ia tidak rela membiarkan anaknya, Iqan, ikut komedi tunggal. Tapi
ia tidak bisa bicara, sebab ada kecelakaan menimpa dirinya.
“Lama-lama
aku juga bisa kena gangguan jiwa!” teriak Iqan sambil memegangi kepalanya dan
mengusap wajahnya.
*
Sejujurnya
warga-warga di daerah Iqan tinggal sudah banyak mengajukan protes kepada
pihak-pihak terpercaya. Begitulah, mereka ingin disebut “terpercaya”. Tapi hasilnya nihil. Kekacauan melanda
meskipun pada permukaannya kelihatan baik-baik saja.
Warga-warga
selalu mengharapkan sesuatu yang menghibur (untung-untung mendidik) di
televisi. Tapi begitu mereka selesai menonton, lalu tidur. Keesokkan harinya,
mereka selalu merasakan kehampaan. Tahu-tahu, maut sudah menjemput dari arah
tak terduga.
Kasus-kasus
kematian ini sudah diceritakan secara lisan dari mulut ke mulut. Ke desa-desa
sebelah, lalu menyebar hingga ke luar kota. Tapi banyak yang menganggap kalau
itu cuma rekayasa. Sekadar mitos yang dibuat untuk menakut-nakuti. Dan sebagian
menganggap kalau itu adalah humor satir. Kematian konyol, apakah perlu
ditertawakan atau direnungkan?
*
Haha.
Tibalah
saatnya acara komedi tunggal untuk memberikan humor segar yang bisa
memperpanjang hidup warga di tempat itu. Acara itu diselenggarakan di balai
desa. Banyak orang yang menonton, bahkan dari desa sebelah.
Iqan
dapat kesempatan tampil pertama. Hatinya deg-degan. Badannya panas dingin dan
berkeringat meskipun acara belum dimulai. Ada rasa khawatir dalam dirinya,
bahwa akan ada sesuatu yang sia-sia yang bakal datang. Khawatir kalau dirinya
tidak bisa mengubah kondisi yang kacau di tempatnya.
Tapi
ia mau tak mau harus siap. Namanya sudah dipanggil oleh pembawa acara. Lalu ia
menarik nafas dan menghembuskannya, menenangkan dirinya. Ia naik ke panggung,
memperkenalkan dirinya, dan basa-basi sebelum memulai sesuatu lelucon yang
dianggapnya lucu.
Penonton
masih diam. Iqan terlihat panik lantaran lelucon yang ia anggap lucu tidak
menghasilkan tertawaan penonton.
“Dunia
berubah begitu cepat. Dulu lawakan ini hampir membuat saya mati karena tidak
bisa bernafas akibat tertawa terlalu lama,” batinnya.
Leluconnya
tentang anak-anak yang terkena jebakan tahi, tentang pengemis yang ketahuan
pura-pura cacat, dan sedikit kekonyolan soal percintaan. Tapi tidak ada
tertawaan sama sekali. Bahkan ayam-ayam yang hadir, atau serangga-serangga yang
lewat pun tidak tertawa dengan cara mereka.
Iqan
jadi kena serangan jiwa. Dan bicara mulai kacau.
‘Ya
sudah, saya akan bercerita saja. Kedua orang tua saya sendiri, saya bunuh
mereka dengan enteng tangan. Kita ini orang pesakitan,” Iqan tertawa, “Apakah
yang lucu dari orang-orang pesakitan macam kita?”
Tiba-tiba
saja, Iqan menelan mikrofon yang ia pegang. Dan mati cuma-cuma. Tidak ada angin
perubahan sama sekali meskipun ada banyak tertawaan setelahnya.
Haha hihi.
Selesai
Purwokerto, 28-30 April 2017.
Komentar
Posting Komentar