Langsung ke konten utama

Larasati Mahaayu

Larasati Mahaayu
 Oleh: Syarifudin Emseh
            Minggu pagi yang cerah, di sudut sebuah desa, suara tambur meramaikan suasana. Larasati menari-nari gemulai diiringi para warga yang juga ikutan menari. Mereka semua dalam suasana yang gembira. Namun, suasana itu pecah akibat Larasati berhenti menari, tetapi suara tambur masih berbunyi sangat meriah.
            “Mengapa berhenti menari?” tanya salah satu warga.
            “Aku mau ke supermarket. Ingin membeli kosmetik,” jawab Larasati.
            “Kau harus serius latihan, Larasati! Jangan seenaknya begitu!” seru pemain tambur.
            Perkataan pemain tambur tak diindahkannya. Ia mengusap keringatnya sambil mengatur ritme pernafasannya. Dia duduk di sebuah kursi. Wajahnya sangat bercahaya disinari oleh cahaya matahari pagi itu. Kecantikannya benar-benar terpancar. Ia benar-benar tampak mempesona. Seluruh laki-laki yang melihatnya benar-benar kagum, sampai-sampai mata mereka mengeluarkan air mata karena tidak rela berkedip dan melewatkan keindahan Larasati.
            Sambil menari-nari, dua orang laki-laki, yaitu Cibeng dan Manan menggoda Larasati.
            “Demi aroma melati saat pagi hari,” Manan mencium aroma Larasati yang sangat harum, “sungguhlah sekiranya kosmetik itu berbahan sinar mentari dan rembulan sehingga apabila matahari telah tergelincir di cakrawala, kaulah yang paling bersinar di muka bumi,” senyumnya mereka benar-benar menggoda Larasati.
            “Duhai cantikku yang nomor satu, bintang siang-malam ada dalam dirimu,” kata Cibeng dengan nada yang berlebihan. “Sungguhlah sekiranya kosmetik yang kau pakai itu tidak mengubah apa-apa. Kamu tetaplah bintang siang dan malam yang sedang menari-nari anggun dan lemah gemulai di muka bumi ini.
            Tiba-tiba suara musik berhenti. Semua orang berhenti menari. Mereka semua focus kepada Larasati, Cibeng dan Manan. Semuanya menunggu jawaban dari Larasati.
            Sementara itu, Larasati tampak tersenyum seraya berkata, “Kosmetik itu penting, tuan-tuan layaknya seperti sebuah kehidupan. Dan janganlah tuan-tuan sekalian begitu langsung menggodaku. Nanti mukaku memerah, dan kalian tertawa-tawa. Aku ini tak kuat bila digoda.”
            Tambur ditabuh semakin keras dari sebelumnya. Para warga tertawa-tawa dan menari-nari lebih bersemangat dari sebelumnya. Suasana semakin meriah dibandingkan sebelumnya. Wajah Larasati memerah. Kemudian ia menutup wajahnya karena malu, tapi agak senang juga.
            “Memang kalian ahlinya dalam soal goda-menggoda!” teriak salah seorang warga.
Tapi tak lama kemudian, Larasati berteriak. Semuanya hening.Kemudian ia memperlihatkan wajahnya kembali. Sorot matanya tajam. Ia mengangkat kepalanya, mengerutkan dahinya, menebas senyumnya, serta berkecak pinggang.
            “Biarpun rembulan iri terhadap saya, saya sungguh tidak peduli,” kata Larasati dengan nada angkuh. “Saya tetaplah yang paling cantik. Persoalan bintang siang dan malam ada dalam diri saya, itu karena saya cantik. Dan saya akan selalu yakin kalau sayalah yang paling cantik.”
            Larasati berkata penuh dengan percaya diri dan arogan, tapi justru itulah dasar kecantikannya. Kecantikan yang luar biasa cantik dan tidak bisa dideskripsikan. Bagi siapa pun yang melihat dirinya, tentu akan langsung terpana. Apabila tidak, tentulah ia adalah orang buta.
            “Sudah jangan menghalangi saya untuk pergi ke supermarket,” kata Larasati kesal.
            “Dan itulah perangainya,” celetuk salah seorang warga.
            Para warga benar-benar ditimpa kesenangan berlipat-lipat. Tambur berbunyi lebih keras lagi daripada sebelumnya. Semuanya semakin bersemangat.
            “Itu artinya kita akan melakukan apa saudara-saudara?” teriak pemain tambur.
            “Menemani Larasati ke supermarket!” sahut seluruh warga.
            Para warga kemudian sibuk membentuk barisan. Larasati tampak tidak mengindahkan kelakuan para warga, tetapi ia tampak senang. Senyumnya merekah di wajahnya. Beberapa lama kemudian, ia berjalan dengan anggun diikuti para warga di belakangnya. Suara tambur menggebu-gebu. Warga menari semakin lincah. Mereka berjalan menyusuri jalan desa sambil mengelu-elukan nama LarasatiSang Mahaayu.
***
            Menjelang siang hari, di sebuah pasar yang ramai yang terdapat di pusat desa. Seorang laki-laki bernama Petit dengan sangat cemas dan penuh keringat mondar-mandir. Seringkali ia menatap jalan desa itu sampai ujungnya, tapi masih saja sepi.
            “Aduh apa yang harus saya lakukan?” tanyanya penuh dengan kecemasan.
            Dia kembali mondar-mandir di antara keramaian pasar itu. Perasaannya lebih dari sebuah kemelut; seperti sebuah benang yang sangat kusut dan sulit kembali diurai. Sampai suatu ketika, seorang perempuan bernama Aminah, menegurnya. Laki-laki ini terkejut. Kemudian ia membalikkan badannya dan melihat Aminah.
            “Aminah? Kau ini bikin kaget saja! Sudah tahu aku sedang cemas,” kata Petit, yang masih penuh dengan kecemasan. Lantas Aminah tertawa.
            “Mengapa memang?” tanya Aminah.
            “Larasati.”
            “Seorang perempuan yang benar-benar cantik dan dipuja-puja seperti tuhan, maksudmu? Kau menantikan ia lewat? Hasilnya akan sama saja.
            Aminah tertawa makin keras. Tawanya melebihi keramaian pasar, sehingga orang-orang menatapnya kebingungan. Barulah ia memberhentikan tertawanya itu.
Petit menghela nafas. Ia berkata dengan nada agak tinggi, “Sama apanya maksudmu?”
            “Sebuah penolakan cinta, jawab Aminah dengan entengnya.
            “Jangan kurang ajar kamu, Aminah!” Petit mulai marah. “Saya sangat yakin bahwa hari ini adalah hari keberuntungan saya. Peramal tadi bilang kalau hari ini adalah hari keberuntungan saya. Jadi saya sangat percaya kalau hari ini adalah hari keberuntungan saya.”
            “Dan sekarang kau menaruh takdirmu pada sebuah ramalan. Ayolah Petit! Jangan membuatku tertawa,” Aminah pun berusaha menahan tertawanya, tapi tidak bisa.
            “Sebagai sebuah pembuktian bahwa ramalannya benar. Dan memang ramalan dia selalu benar. Terlebih sebuah nasib baik akan datang menimpa saya. Tentu saya harus meyakininya.”
            Aminah tertawa makin keras. Petit menghela nafas dan mulai mengabaikan Aminah. Dia berjalan mondar-mandir kembali. Hingga sampai suatu kejenuhan, ia mencoba berjalan ke ujung jalan. Tapi rasa cemasnya membuat dia untuk menundanya.
            “Jangan mengabaikanku, Petit!” Aminah mulai kesal. “Percayalah sebuah fakta dibandingkan ramalan-ramalan. Kau sudah ditolaknya berkali-kali. Puluhan kali mungkin, atau lebih malah. Aku tidak tahu betapa kau sangat menginginkannya. Apa karena kecantikannya?
            “Ya, kau sudah tahu itu, Aminah. Kecantikannya… kecantikan yang sudah tidak dapat dideskripsikan. Bagaimana caranya saya menulis sebuah kata-kata yang indah yang menggambarkan keseluruhan kecantikannya? Saya tetap tidak bisa berpaling, Aminah. Dan justrunya kamu harus membantu saya dalam persoalan ini.”
            “Kau sudah benar-benar kehilangan akal waras!
            “Bahkan saya sangat yakin seluruh laki-laki di desa yang sudah beristri pun berkata sama. Pernah saya melihat juga para anak kecil membicarakan Larasati dengan begitu bergairahnya. Anak kecil, Aminah! Anak kecil,” Petit menarik nafas,“bila anak kecil pun bisa begitu, lalu saya seperti apa, Aminah? Pikirkan coba!”
            “Pengacau memang dia! Tapi saya juga yakin para ibu-ibu di desa ini tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih mengusir Larasati. Bakal musibah nantinya.”
            Petit tiba-tiba mendengar suara kegaduhan dari sisi lain. Dia juga menanyakan hal demikian kepada Aminah. Dan ternyata Aminah juga mendengarnya. Terdengar suara tak asing. Bunyi-bunyi tambur. Teriakan orang-orang yang mengelu-elukan sebuah nama, tapi Petit samar-samar mendengarnya. Ia pun menduga-duga.
            Semakin lama, suara tersebut semakin jelas terdengar. Keramaian pasar menjadi kalah akibat keramaian bising suara seperti pawai dari sisi lain. Semuanya berusaha menengok ke arah bising tersebut. Suara tambur yang benar-benar meriah. Dan kemudian disusul suara yang mengelu-elukan nama seseorang. Aroma udara menjadi berubah seperti aroma wewangian.
            Aminah tidak suka dengan aroma wewangian. Lalu dia beranjak pergi dari pasar. Petit tak mempedulikannya. Malahan dia berusaha menikmati betapa harumnya aroma wewangian itu. Seperti sebuah keharuman yang benar-benar mengantarkannya pada sebuah kenikmatan.
            Tak lama, terdengarlah jelas tanpa keraguan. Nama seseorang yang dielu-elukan ialah: Larasati! Petit semakin khawatir. Ia berkeringat dingin, tetapi ia juga mencoba meningkatkan rasa percaya dirinya. Ia yakin bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya.
            “Jangan khawatir. Hari ini adalah hari keberuntunganku,” gumamnya.
            Barulah tampak Larasati di hadapan para pedagang dan pembeli di pasar itu. Pesonanya sangat memikat benar-benar bertebaran memenuhi pasar. Urusan perniagaan ditinggalkan untuk mengagumi sebuah bentuk keindahan yang benar-benar mahaindah. Para warga yang berada di pasar ikut-ikutan mengelu-elukan nama “Larasati”. Seolah-olah mereka terhipnotis juga.
            Tapi Petit hanya kaku di jalanan pasar itu. Dirinya bergeming. Pandangan matanya pun hanya melirik-lirik Larasati yang berada persis di hadapannya. Matanya mulai berair lantaran dia melihat sebuah keindahan yang benar-benar mahaindah.
            Larasati, dengan sorot mata tajamnya, sedikit arogansinya, dan bertebaranlah aura kecantikannya itu, menyuruh Petit untuk minggir dari hadapannya lantaran ia menghalangi jalan Larasati menuju supermarket.
            “Minggir!” suruh Larasati dengan menggunakan telunjuknya.
            “Kalaulah saya bisa bergerak, saya akan minggir. Tapi saya tidak bisa bergerak.”
            “Minggir. Saya mau lewat,” kata Larasati dengan nada dingin.
            Petit tetap tidak bisa bergerak, tapi Larasati terus melangkah maju. Jalanan pasar memang cukup luas. Namun, dengan kearogansian Larasati, terjadilah sebuah pertengkaran kecil hanya karena Petit menghalangi jalan Larasati padahal orang lainnya juga sudah dengan sendirinya memberikan jalan untuk Larasati.
            Petit semakin yakin.Lalu ia mencoba berbicara keinginannya sembari melirik Larasati yang tampak menawan. Dia semakin mendekati Petit hingga ia menghela nafasnya.
            “Aku cinta padamu, Larasati!” teriak Petit.
            Semua orang meludah mendengar perkataan Petit barusan kecuali Larasati.
            “Aku tidak membutuhkan sesuatu yang bukan materi,” kata Larasati sembari mengangkat kakinya hampir lurus ke atas. Kemudian dengan penuh tenaga ia injak dada Petit hingga membuatnya tersungkur di tanah. Lalu, dilangkahinya tubuh Petit oleh Larasati sembari berkata, “Injak saja dia! Dia adalah jalanan yang harus diinjak tetapi jangan sampai dihancurkan.”
            Semua orang terkejut melihat kejadian barusan. Tapi akibat perintah dari Larasati, akhirnya pun semua orang menginjak punggung Petit. Orang paling belakang menjatuhkan bunga di atas tubuh Petit sambil mengisyaratkan sebuah doa. Barangkali Petit sudah meninggal.
Sesudah itu, suasana pasar benar-benar sepi seperti sebuah kota mati. Barang dagangan dibiarkan begitu saja tanpa ada rasa khawatir bakal ada pencuri. Karena memang semua warga desa mengikuti langkah Larasati kecuali Petit yang masih tersungkur di tanah. Ia merasakan kesakitan yang benar-benar sakit. Tulangnya serasa remuk, tapi untunglah dia masih bisa berdiri.
Ia memandangi kehampaan pasar beserta kehampaan dirinya. Sampai pada puncaknya, ia tertawa-tawa seperti orang gila. Keheningan pecah menjadi kengerian yang berasal dari Petit. Baru kali ini ia diinjak seperti itu. Hingga matanya tajam memandangi langit. Nafasnya memburu. Ia mengambil sesuatu di pasar itu, dan melangkah pergi secara perlahan dari pasar.
***
            Seminggu berselang, tepat bulan purnama saat malam Minggu.Langit malam seolah merah, dan purnama juga ikut-ikutan merah. Suasana desa tampak mengerikan. Bau anyir darah memadati udara. Tergeletak ratusan mayat di kursi penonton dan mayat seorang perempuan yang sangat cantik di atas panggung pertunjukan. Mayat perempuan itu dipeluk erat-eratoleh seorang laki-laki. Kemudian secara sadar, laki-laki bermonolog di hadapan para mayat.
            “Tenang saja semuanya! Malam ini yang semulanya pertunjukan tari, lalu menjadi konser menangis, lalu menjadi sebuah ritual pembunuhan. Kemudian akan menjadi sebuah pementasan monolog dari saya!Maka jangan salahkan saya! Kalian semua juga mesti bangga sebab masuk ke dalam kisah ini! Danitu soal siapa yang salah, itu semua salah perempuan ini,” laki-laki ini melepaskan pelukannya sejenak untuk memperlihatkan wajah mayat perempuan yang sedang dipeluknya.
            Keheningan menjadi jawaban. Tidak ada protes apa pun.
“Perlu kalian ingat baik-baik, sayamenebas leher kalian satu per satu ini bukan semata-mata karena saya mencintai perempuan ini, tapi untuk menegakkan keadilan.Keadilan sedang krisis hari ini. Toh saya juga menusuk dada perempuan ini.” Ia menarik nafas sejenak dan berkata lagi, “Keadilan sedang krisis sebab kecantikannya. Asal kalian tahu saja. Semua orang menjadi hilang akal waras sebab kecantikan. Ada yang mesti mengubur impiannya. Ada yang rela membakar mimpinya. Ada juga yang sampai membunuh. Dan itu adalah saya! Saya yang telah belajar pelajaran baru, yaitu  cara menjadi seorang psikopat semenjak kehampaan itu berada dalam diri saya.”
Laki-laki ini tertawa panjang sekali.
“Sungguh! Kecantikan menyebabkan krisis sosial dan moral. Kalian harusnya sudah benar-benar yakin akan perkataan saya barusan. Sudah jelas buktinya, dan saya mesti menyiapkan sebuah skenario panjang agar kalian semua pun termasuk di dalamnya.
            Ia mulai menangis.
            “Tapi sialnya kecantikannya belum pudar juga meski kini ia telah jadi mayat. Ah Tuhanku, bagaimana mungkin saya masih cinta juga terhadap mayat?”
            Ia menjadi histeris.
            “Saya tidak sangsi lagi! Benar, saya masih mencintainya! Semuanya! Saya masih mencintainya! Benar-benar sangat mencintainya! Malah saya merasa, saya lebih mencintainya ketika ia kini menjadi mayat, sebab saya bisa mencium aroma tubuhnya dan puas bercinta dengannya. Ah, saya mencintai tubuhnya ketimbang jiwanya.”
Kemudian ia bercumbu sangat dalam sekali dengan mayat perempuan yang sangat cantik itu. Setelah sampai klimaksnya, ia menurunkan tempo sampai pada tahap epilognya. Ia kembali merapihkan dirinya yang berantakan untuk mempersiapkan sambutan yang hangat, meliputi permohonan maaf dan ucapan terima kasih kepada para mayat yang setia menonton monolognya dari awal sampai akhir.
“Dan beginilah kisah cinta Petit dengan Larasati. Terima kasih atas perhatian kalian semuanya. Pertunjukan ini telah berakhir.”
Kemudian ia tertawa panjang sekali disusul hening yang sangat panjang.
           

-Selesai-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA

RESENSI BUKU: BURUNG-BURUNG MANYAR Karya YB. Mangunwijaya Oleh: Dara Nuzzul Ramadhan* Judul Buku        : Burung-Burung Manyar Pengarang         : Y.B Mangunwijaya Penerbit            : Djambatan Tahun                : 2007 ISBN                : 978-979-428-528-2 Jumlah Halaman : 319 Halaman Roman Burung-Burung Manyar adalah roman yang bisa kita bilang menceritakan pengalaman batin seorang laki-laki keturunan ningrat, asli Indonesia, yang berpihak kepada Belanda dibanding berpihak kepada Indonesia, tanah airnya sendiri. Membacanya menambah sudut pandang kita terhadap peristiwa yang terjadi pada masa prakemerdekaan dan pascakemerdekaan. Pasalnya, Selama ini yang kita ketahui adalah sejarah-sejarah dari sudut pandang bangsa Indonesia yang pro terhadap republik ini sendiri. Sedangkan pada novel ini, YB. Mangunwijaya, Sang Penulis memberikan sudut pandang baru mengenai sejarah Indonesia dari sudut pandang pihak yang kontra terh

PRESS RELEASE WORKSHOP KEANGGOTAAN TEATER TEKSAS YANG KE-XIX

  Salam Sastra! Salam Budaya! Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas terlaksananya acara Workshop Keanggotaan Teater Teksas yang ke-XIX selama 3 hari, dimulai pada tanggal 17-19 November 2023. Workshop tahun ini dilaksanakan secara luring di dua tempat; Balai Desa Limpakuwus dan Fakultas Ilmu Budaya, Purwokerto. Workshop Keanggotaan Teater Teksas merupakan kegiatan yang harus diikuti oleh calon anggota Teater Teksas sebagai syarat untuk menjadi anggota Teater Teksas. Kegiatan ini berupa latihan pengembangan dan pengujian keterampilan dalam bidang teater dan organisasi. Sebelum mengikuti Workshop, calon anggota pun harus mengikuti kegiatan pra-workshop yang diadakan selama enam hari dengan materi berbeda setiap harinya. Pra Workshop hari pertama pada tanggal 10 November 2023 dengan materi Make Up dan Kostum yang diisi oleh Almira Rahayu dan Nurul Lutfiyah, hari kedua tanggal 11 November 2023 diisi oleh dua materi yaitu Musik dan Keproduksian. Materi Musik;

PRESS RELEASE MUSYAWARAH ANGGOTA XV TEATER TEKSAS 2019/2020

Musyawarah Anggota XV Teater Teksas 2019/2020              Salam Sastra, Salam Budaya!              Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksanakannya acara Musyawarah Anggota (Musang) XV Teater Teksas periode 2018/2019 selama 8 hari, dimulai pada tanggal 3-10 Januari 2020. Di Jalan Bougenvil RT 02/RW 01 Kelurahan Grendeng. Dihadiri oleh pembina, anggota, dan alumni Teater Teksas. Serta turut mengundang UKM dan Himpunan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unsoed. Acara ini berjalan lancar meskipun terdapat beberapa kendala yang akhirnya teratasi.              Musyawarah Anggota merupakan forum tertinggi di Teater Teksas. Secara garis besar, Musang diadakan untuk menetapkan dan mengesahkan Anggaran Dasar (AD) / Anggaran Rumah Tangga (ART) dan Garis Besar Program Kerja (GBPK) yang disepakati, memaparkan pertanggungjawaban pengurus dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), serta memilih Pengurus Harian (PH).              Pada hari pertama membahas