Langsung ke konten utama

Rasa Aneh

Rasa Aneh
Oleh: Syarifudin Emseh

“Ah! Tertanamlah waktu yang tua ke dalam diriku. Apakah memang selama itu aku tidur?” tanya Mahesa kepada dirinya sendiri ketika bangun dari tidurnya. Jam dinding tidak berdetak lagi. Sementara, matahari dan bulan berdampingan di langit yang sama. Mahesa merasa keanehan tentang hal ini. Seingatnya, ada hujan bintang sebagai pengantar tidurnya. Oleh karena itu, mimpinya menjadi sangat indah. Terlampau indah. Lebih indah dari apa pun yang pernah ia lihat dalam hidup. Dan kini, ia hanya bisa menggerutu kepada orang yang membangunkannya, entah siapa pun itu. Tapi nyatanya tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.
“Peler kuda! Jam berapa sekarang? Ada tugas yang mesti dikumpulkan!” ia terkejut sendiri, dan kesadarannya berangsur pulih. Lalu ia mencari telepon genggamnya. Ternyata telepon genggamnya telah menjadi papan yang mulai rapuh dan jadi debu. Perasaan aneh macam apa ini, batinnya. Lalu ia bergegas berjalan keluar rumah. Ternyata, banyak hal yang terlewati olehnya. Ada bintang di siang hari! Ataukah ini masih malam yang kebetulan ada matahari? Ia tak tahu jawabannya.
Tidurnya lebih tua dari waktu. Dan ia menuju kamar mandi untuk merapihkan diri. Air di kamar mandi berubah jadi cahaya pelangi sehingga untuk merapihkan diri, ia tidak perlu membasahi tubuhnya. Dengan begitu, kehidupan menjadi sedikit lebih simpel. Setelahnya, tidak perlu lagi pakai minyak wangi atau deodorant dan sejenisnya. Sebab hanya dengan bermandikan cahaya pelangi, ia bisa bersinar dan tampak berkilau.
Perubahan yang aneh, pikirnya. Tapi ia terima saja karena itu menguntungkan baginya. Lalu ia berjalan keluar, mengamati sekeliling. Lapangan bola dekat kosannya berubah menjadi museum waktu yang menampilkan kehidupan seluruh orang dari waktu ke waktu. Tak sengaja ia lihat dirinya di sana, hanya meringkuk di atas tempat tidur dalam waktu yang sangat lama.
“Mungkinkah ini zaman sudah berbeda? Mengapa Robby tidak membangunkanku? Atau Maul? Adlin? Ke mana si brengsek itu pada? Ah! Peler!” makinya. “Tidak mungkin aku masih hidup. Tahun berapa ini? Mana mungkin aku terlepas dari waktu ketika tidur? Dan sekarang masih bisa hidup. Bahkan perutku masih terasa kenyang.”
Ia beranjak dari museum waktu itu entah menuju ke mana. Yang pasti, ia ingin tahu keadaan sekitar. Maka ia masih berjalan-jalan mengelilingi sekitar tempat itu. Dan kini, ia lihat jalan raya jadi sungai yang deras dan orang seperti mengemudi di atas kertas. Ada pula tangga penyebrangan yang terbuat dari asap hitam. Maka itu, Mahesa hanya menyebrangi sungai itu. Ia masih berjalan tidak tahu arah. Perubahan yang ia lihat sangat drastis. Kini, ia bisa melihat matahari berwarna biru gelap seperti warna tim sepak bola kesukaannya. Tapi tidak ada orang yang bisa ia tanyai di sana.
Apabila ini memang benar masa depan, tentu ada robot sebagaimana yang digambarkan oleh film-film sci-fi, begitu pikirnya. Tapi, ketika ia benar-benar memperhatikan sekitar, tidak ada robot sama sekali. Semuanya benar manusia, tapi tubuh mereka transparan. Hanya dia saja yang tampak berbeda dari kerumunan manusia di sekitarnya.
Kebingungan menyergap dirinya. Tidak ada pengalaman dirinya yang sanggup menjawab segala keanehan ini. Maka itu, mau tak mau ia mesti bertanya kepada seseorang entah siapa pun itu menjelaskan semua yang ia pertanyakan.
Dan kebetulan, ia melihat seseorang yang tampak ia kenal.
“Heh, bukannya itu Naqi?” ia pandangi lagi dengan saksama. “Ya, itu Naqi!”
Lalu ia panggillah orang itu keras-keras dengan dicampur makian yang khas darinya. Tapi orang yang ia anggap itu Naqi, ternyata bukanlah benar-benar Naqi.
“Apasi Daan?” tanya orang itu.
“Eh anjing! Apaan sih?” tanya Mahesa yang terlihat semakin bingung campur kesal.
“Apasi Daan?”
Mahesa berpikir sejenak untuk mengerti yang dikatakan oleh orang itu. Tapi, orang itu malah bicara semakin panjang dan semakin tidak dimengerti.
“Daan sesatter? Daan ikba-ikba jasa? Luper tuanban? Oh, mana yasa Qina. Mana Daan apasi?”
“Duh, ngomong apa sih?”
“Mana?”
“Mana apaan? Gue enggak ngerti!”
Tampaknya percakapan itu tidak menemukan titik temu, dan bahasa yang dipahami Mahesa seolah punah. Ia hilang sehilang-hilangnya. Kini, ia tidak mempunyai identitas lagi. Barulah ia memahami bahwa waktu sedang mempermainkannya. Dan ia memaki-maki pada waktu.
Sementara orang yang ia ajak bicara pergi meninggalkannya. Setelah makian panjangnya selesai, lalu ia membuka matanya, tiba-tiba ia berada di sebuah ruang yang tak ia kenal. Ruang itu hanya ada dirinya, selebihnya ia merasakan kehampaan yang sangat hampa sampai-sampai ia bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Juga suara-suara aneh dari bakteri-bakteri di dalam tubuhnya. Dan suara hatinya sendiri yang tak terkendali. Kebingungan jelas semakin menyerbu dirinya. Tapi lama kelamaan, ia tak punya kehendak atas tubuhnya sendiri.
Mulutnya tiba-tiba nyerocos sendiri.
“Ah, ya, jadi begini... Saya adalah manusia yang punya hobi main gitar sama merokok. Oh ya, kalau misalkan besok libur, saya senang main ke warnet. Main DOTA sepanjang malam....”
Teruslah mulutnya bercerita sepanjang perjalanan hidupnya tentang hal-hal yang baik dan buruk. Sementara pikirannya kacau dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan yang ia sesali. Peristiwa-peristiwa itu menyerangnya bertubi-tubi. Ia ingin berteriak, tapi tidak bisa karena mulutnya masih terus nyerocos.
Penyiksaan akan timbul seperti matahari, begitu pikir Mahesa sebelum penyiksaan benar-benar dimulai. Tapi kemudian, nyatanya ia tidak benar-benar disiksa. Akhirnya, mulutnya berhenti nyerocos setelah mengucapkan: ... dan saya mati karena bom waktu. Pikirannya tidak pusing lagi karena peristiwa yang menyerang tiba-tiba menghilang sendiri. Dan kini, matanya melihat dirinya sendiri sedang bermain gitar di atas bulan.
“Kapan keanehan ini akan berakhir?”
Bulan itu bergerak mengitari dirinya di ruang yang besar itu. Kemudian muncul lagi kawannya, Maulana, dengan rambutnya yang khas itu, sedang bermain bola basket di atas Mars. Mahesa mengucek matanya untuk memastikan kembali. Tapi, malahan muncul lagi seorang Naqi yang sedang stand up comedy di Jupiter; Arif yang sedang mengaji di Uranus; Adlin yang sedang berperang di matahari; Andhika yang sedang mengajar di Venus; Rere sedang memasak di Merkurius. Sementara planet-planet lain dipenuhi oleh bayangan Emseh yang sedang diam dengan tatapan mata yang kosong sedang menatapnya.
Semuanya berputar-putar mengelilingi Mahesa. Semakin cepat dan semakin bertambah cepat. Dan ruang yang besar itu perlahan mengecil. Planet-planet dan galaksi pun ikutan mengecil menghampiri Mahesa. Ia sadar kalau sudah tidak bisa bergerak bebas. Sementara, perputaran planet dan galaksi semakin cepat. Satu-satunya yang bisa dilakukan Mahesa hanyalah pasrah. Akhirnya, ruang itu semakin kecil dan semakin kecil hingga musnah. Mahesa masuk ke dalam mata kosong bayangan Emseh dan terjebak di sana.
*
Tiba-tiba Mahesa tersadar, dan kaget bukan kepalang karena ia telah menjadi perempuan. Dan parahnya lagi, ia merasa seolah sedang diperkosa oleh laki-laki. Ia tidak bisa melihat siapa laki-laki yang memperkosanya karena cahaya remang-remang. Kemudian muncul cahaya bulan melalui sela-sela atap. Ternyata ia benar-benar sedang diperkosa oleh laki-laki, dan laki-laki itu adalah dirinya sendiri.
Pemerkosaan macam ini, keluhnya. Ah, ia terjebak dalam pelukan dirinya sendiri. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Lalu ia tak sadarkan diri beberapa saat.
Setelah semuanya berlalu, Mahesa sadar bahwa ia telah diperkosa oleh dirinya sendiri. “Perasaan aneh macam apa lagi ini? Kapan keanehan ini benar-benar berakhir?” tanyanya. Ada perasaan bersalah di dalam dirinya karena telah diperkosa. Tiba-tiba ia merasa sangat hina sehina-hinanya. Lalu ia keluar kamar. Hampir saja jantungnya copot, karena melihat semua orang berwajah sama, yaitu wajahnya sendiri. Dan satu sama lain saling menyapa dengan sebutan “Mahesa” pula.
Ia melihat dirinya sedang mengamen, tapi di sisi yang lain ia juga melihat dirinya sedang menangis. Perasaan bahagia, sedih, kecewa, heran, bingung, frustasi, depresi berseliweran kian cepat berganti-ganti. Seolah ia benar-benar merasakan semua perasaan manusia di situ, yang memiliki wajah yang sama dengannya.
Tapi kemudian tiba-tiba semua aktivitas berhenti, dan seluruh wajah menatap Mahesa. Di situlah ia merasa sedang diburu dan mati berkali-kali. Dan dari wajah-wajah itu saling mengucapkan kalimat:
“Ini adalah sebab dari perbuatan-perbuatanmu.”
Sementara Mahesa terlalu dangkal untuk memahami letak permasalahannya karena saat itu ia sedang menjadi korban.
*
Mahesa masih hidup dan ia dibangunkan oleh tangisan dari Maulana, Adlin, Naqi, Robby, dan kawan-kawannya yang lain. Tapi kemudian ketika Mahesa benar-benar terbangun dari tidurnya, tiba-tiba semua orang yang ada di situ menertawakannya. Situasi berganti secara drastis.
Entah apa yang ada di benak kawan-kawannya, tiba-tiba saja Mahesa dibekap dengan kain yang sangat panjang dan bau. Mulutnya disumpal dengan celana dalam. Lalu ia diangkat bersama dengan kasur tempat yang ia diikat. Ia diarak. Sepanjang jalan, kawan-kawannya menyanyikan lagu reggae sambil bergoyang.
Iring-iringan semakin banyak ketika mereka memasuki jalan raya yang besar. Dan orang-orang seolah terhipnotis untuk ikut menggemakan lagu reggae sambil bergoyang dengan penuh kenikmatan dan kekhusyuan seperti sedang beribadah.
Mahesa tidak bisa apa-apa selain mendengarkan gemuruh orang bernyanyi lagu reggae. Keanehan masih tak kunjung usai, pikirnya. Sementara di sela-sela alunan musik reggae yang menggema, ia juga mendengar orang lain berkata: “ah kita tidak bisa merdeka kalau hidup hanya untuk senang-senang terus.”
Memang di antara kebahagiaan itu, ada pula kepahitan yang tersamarkan dan jarang didengar. Seperti kepahitan hidup yang dirasakan oleh dua orang yang bercakap di dekat patung kuda. Mereka adalah Si Perut Bolong dan Si Muka Gosong.
“Yah, kita tahu kalau banyak orang berbahagia di dalam isi kepala mereka. Tapi kita juga tahu badan kita sakit-sakitan karena besok pasti makan batu dan cacing,” kata Si Perut Bolong.
“Perlukah kita hentikan kebahagiaan yang fana dan membuang-buang waktu itu?” tanya Si Muka Gosong. Tiba-tiba dengan kesal Si Perut Bolong memukul muka Si Muka Gosong sampai-sampai keluar cairan hitam seperti oli dari mukanya.
“Jangan rampas kebahagiaan orang lain, goblok! Meskipun suatu saat mereka pasti akan tersiksa sampai benar-benar tersiksa. Kebahagiaan itu adalah hak mereka!”
“Tapi mereka mulai tidak waras dengan menjadikan orang gila yang tiduran di atas kasur dengan diikat kain dan mulutnya disumpal celana dalam sebagai Tuhan.”
Walaupun dalam keadaan yang sangat bising kala musik reggae mengalun dan orang lain bernyanyi, Mahesa masih tetap bisa mendengar percakapan antara Si Perut Bolong dan Si Muka Gosong. Dan ia tahu bahwa dirinya sedang dibicarakan.
“Kita bunuh saja Tuhan mereka,” kata Si Muka Gosong tiba-tiba. “Dan biar kita sadarkan orang-orang kalau besok sudah kiamat!”
“Rencana yang sinting, tapi boleh dicoba,” balas Si Perut Bolong.
Dalam kedipan mata, tahu-tahu Si Muka Gosong sudah berdiri di atas tubuh Mahesa dan mempersiapkan pisau seukuran Jupiter yang ia ambil dari sakunya. Lalu Si Muka Gosong menusuk tubuh Mahesa berkali-kali sampai darah bercipratan dan tubuhnya hancur berkeping-keping menjadi partikel.
Di sisi lain, Si Perut Bolong berteriak-teriak di atas patung yang bisa dilihat semua orang di seluruh dunia.
“Dunia akan kiamat besok! Dunia akan kiamat besok! Tobatlah kalian wahai orang-orang yang lalai. Akan ada bencana yang mahadahsyat.”
Banyak yang percaya dan banyak juga yang tidak percaya. Dan bagi mereka yang tidak percaya, langsung melabeli Si Perut Bolong adalah orang sinting yang sedang cari sensasi. Lagipula mana ada kiamat bisa diprediksi tiba-tiba? Alah, pasti berita bohong. Sedangkan bagi mereka yang percaya, langsung memohon ampunan berkali-kali. Amal ibadah dijalankan seperti aliran sungai yang deras.
Tak lama setelahnya, orang yang tidak percaya berita dari Si Perut Bolong langsung menembakinya. Ah, tapi memang ia berkata jujur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat memekakkan telinga datang dari langit. Tidak ada yang tahu suara apa itu dan dari mana sumbernya, sampai akhirnya diberitahukan oleh Si Perut Bolong.
“Kalian bisa dengar itu? Itu adalah suara sangkakala! Dunia akan segera kiamat!”
Orang-orang menjadi kalang-kabut lari terbirit-birit setelah mendengar jawaban dari Si Perut Bolong. Teriakan ada di mana-mana. Suara tangisan, doa-doa yang terlantun, dan segala bentuk pengampunan. Ada juga yang menikmati dunia untuk terakhir kalinya dengan melakukan hal-hal yang belum pernah tersampaikan: seperti bercinta dengan perempuan lain.
Tapi keriuhan itu tak berlangsung lama. Sebab Mahesa yang sebelumnya telah dihancurkan menjadi partikel telah kembali, dan kini ia abadi. Langsunglah orang-orang bodoh—menurut Si Perut Bolong dan Si Muka Gosong—menganggap bahwa Mahesa adalah Tuhan.
“Mungkinkah Dia Tuhan? Sebab ia sangat bercahaya seperti membawa kabar dari surga.”
Si Perut Bolong dan Si Muka Gosong membantah dengan keras.
“Kalian bodoh! Bukan. Dia bukanlah Tuhan. Dia adalah iblis!” teriak Si Muka Gosong.
“Barusan kalian dengar sendiri suara sangkakala. Sekarang kalian malah percaya kalau makhluk yang satu itu,” menunjuk Mahesa, “adalah Tuhan. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Dia adalah iblis!”
Mahesa angkat bicara, dan menceritakan segala sesuatunya.
“Aku memang bukan Tuhan. Aku adalah malaikat yang diutus.”
“Tidak mungkin!” bantah Si Perut Bolong, disusul oleh Si Muka Gosong.
“Beberapa waktu lalu, orang itu membunuhku, Si Muka Gosong. Betapa kejamnya dia. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ia mengizinkanku ke sini untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat dua orang itu.”
Manusia-manusia di seluruh dunia mulai berpikir meskipun akal mereka tak pernah sampai kalau dihadapkan pada persoalan macam ini.
“Tenang! Tuhan itu Maha Pemurah. Ia pasti akan mengampuni dosa kalian dan kalian bebas masuk surga dari pintu mana pun. Yang perlu kalian lakukan ialah menghakimi kedua orang itu. Si Muka Gosong dan Si Perut Bolong,” kata Mahesa meyakinkan seluruh manusia di dunia.
“Tidak mungkin! Ia pasti iblis!” bantah Si Perut Bolong, diikuti oleh Si Muka Gosong. Tapi manusia-manusia terlalu gampang percaya dan akal mereka adalah hal yang sia-sia. Lalu mereka beramai-ramai menghakimi Si Muka Gosong dan Si Perut Bolong sesuai dengan wahyu yang diberikan oleh Mahesa dengan cara membakar mereka hingga jadi abu.
Lalu Mahesa kembali menyampaikan wahyu kepada manusia-manusia di dunia.
“Kalian bisa berdoa dengan cara apa pun, termasuk dengan cara main musik reggae.”
Ah, dan tampaklah wajah sumringah dari para manusia. Musik reggae disetel dari langit oleh Mahesa. Seluruh manusia bergoyang. Mereka terlena dan lupa segala-galanya. Ternyata matahari semakin turun perlahan. Dan manusia-manusia meleleh seperti lilin. Mahesa tertawa terpingkal-pingkal.
“Dasar manusia bodoh! Mana mungkin Tuhan sudi menerima kalian di surga!”
Tapi Mahesa pun tetap terkena siksa. Matahari itu menyumpal mulutnya. Lalu merangsak masuk dan meledak di dalam tubuh Mahesa.
*
Di atap sebagaimana biasa, mereka melingkar. Di situlah Mahesa mendesah-desah, semakin gelisah. Lalu tiba-tiba berteriak, “Yolanda!”
“Kenapa tuh bocah?” tanya salah seorang di lingkaran itu.
“Enggak tahu. Bad trip kali,” jawab orang lain.
Tiba-tiba Mahesa terbangun dan meneriaki semua orang yang ada di situ.
“Jahanam kalian semua!”
Lalu tertidur seolah tidak terjadi apa-apa.
“Si goblok bad trip.”
Dan mereka semua di situ menikmati dunia lewat lintingan. Tapi toh kenikmatan dunia hanya sementara. Sesudah itu ada ketidakpastian yang abadi. Tapi Mahesa yang tidurnya lebih lama dan lebih tua dari waktu tidak merasakan itu semua. Yang ada hanyalah keanehan yang mesti dirasakan dengan kepasrahan.
Selesai

Bekasi, 21 s.d. 22 Juni 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA YB. MANGUNWIJAYA

RESENSI BUKU: BURUNG-BURUNG MANYAR Karya YB. Mangunwijaya Oleh: Dara Nuzzul Ramadhan* Judul Buku        : Burung-Burung Manyar Pengarang         : Y.B Mangunwijaya Penerbit            : Djambatan Tahun                : 2007 ISBN                : 978-979-428-528-2 Jumlah Halaman : 319 Halaman Roman Burung-Burung Manyar adalah roman yang bisa kita bilang menceritakan pengalaman batin seorang laki-laki keturunan ningrat, asli Indonesia, yang berpihak kepada Belanda dibanding berpihak kepada Indonesia, tanah airnya sendiri. Membacanya menambah sudut pandang kita terhadap peristiwa yang terjadi pada masa prakemerdekaan dan pascakemerdekaan. Pasalnya, Selama ini yang kita ketahui adalah sejarah-sejarah dari sudut pandang bangsa Indonesia yang pro terhadap republik ini sendiri. Sedangkan pada novel ini, YB. Mangunwijaya, Sang Penulis memberikan sudut pandang baru mengenai sejarah Indonesia dari sudut pandang pihak yang kontra terh

PRESS RELEASE WORKSHOP KEANGGOTAAN TEATER TEKSAS YANG KE-XIX

  Salam Sastra! Salam Budaya! Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas terlaksananya acara Workshop Keanggotaan Teater Teksas yang ke-XIX selama 3 hari, dimulai pada tanggal 17-19 November 2023. Workshop tahun ini dilaksanakan secara luring di dua tempat; Balai Desa Limpakuwus dan Fakultas Ilmu Budaya, Purwokerto. Workshop Keanggotaan Teater Teksas merupakan kegiatan yang harus diikuti oleh calon anggota Teater Teksas sebagai syarat untuk menjadi anggota Teater Teksas. Kegiatan ini berupa latihan pengembangan dan pengujian keterampilan dalam bidang teater dan organisasi. Sebelum mengikuti Workshop, calon anggota pun harus mengikuti kegiatan pra-workshop yang diadakan selama enam hari dengan materi berbeda setiap harinya. Pra Workshop hari pertama pada tanggal 10 November 2023 dengan materi Make Up dan Kostum yang diisi oleh Almira Rahayu dan Nurul Lutfiyah, hari kedua tanggal 11 November 2023 diisi oleh dua materi yaitu Musik dan Keproduksian. Materi Musik;

PRESS RELEASE MUSYAWARAH ANGGOTA XV TEATER TEKSAS 2019/2020

Musyawarah Anggota XV Teater Teksas 2019/2020              Salam Sastra, Salam Budaya!              Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksanakannya acara Musyawarah Anggota (Musang) XV Teater Teksas periode 2018/2019 selama 8 hari, dimulai pada tanggal 3-10 Januari 2020. Di Jalan Bougenvil RT 02/RW 01 Kelurahan Grendeng. Dihadiri oleh pembina, anggota, dan alumni Teater Teksas. Serta turut mengundang UKM dan Himpunan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unsoed. Acara ini berjalan lancar meskipun terdapat beberapa kendala yang akhirnya teratasi.              Musyawarah Anggota merupakan forum tertinggi di Teater Teksas. Secara garis besar, Musang diadakan untuk menetapkan dan mengesahkan Anggaran Dasar (AD) / Anggaran Rumah Tangga (ART) dan Garis Besar Program Kerja (GBPK) yang disepakati, memaparkan pertanggungjawaban pengurus dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), serta memilih Pengurus Harian (PH).              Pada hari pertama membahas