KASUS
Semua perempuan bisa
diperkosa, pikir Bedor seorang diri di kamarnya. Ia melihat langit-langit, dan
seketika terbayang wajah perempuan yang ia tak kenal itu siapa, tapi mempunyai
tubuh yang disukai seluruh laki-laki: seksi. Itu membuatnya tersenyum-senyum.
Ia tak ingat apa yang barusan ia lakukan hingga memikirkan hal tersebut. Tapi
ia tak terlalu peduli. Perempuan itu menari stripsis di mukanya, membuatnya
semakin gelisah.
Aku tak bisa meraihmu, kata
Bedor yang kesal. Ia hanya berharap bahwa langit-langit itu jatuh dan perempuan
itu menindihnya tepat di atas kepalanya. Dan kemudian, jebroslah langit-langit
kamarnya, sebab kucing peliharaannya dan menimpa kepalanya. Bedor kaget, dan
kemudian kucing itu buru-buru kabur, tapi tertangkap lebih dulu oleh Bedor.
Kau juwitaku, kata Bedor. Ia
menciumi kucing itu seperti mencium seorang perempuan yang benar-benar ia
cintai. Si kucing gelagapan hingga akhirnya mencakar-cakar tangan Bedor yang
semakin lama semakin erat memeluknya. Akhirnya kucing itu bisa benar-benar
lari, menabrak botol kaca hingga pecah, dan menghamburkan lintingan yang sudah
ditata di dalam kaleng.
Bedor tak merasa kesal
sedikit pun, malahan ia merasa senang bukan main. Ia tersenyum-senyum,
tertawa-tawa, hingga suaranya tak terdengar lagi. Sementara itu, musik yang ia
setel masih menyala. Sebuah lagu yang mengantarkannya ke dalam mimpi yang
benar-benar indah.
*
“Anjing pake celana!” kata
Rombeng, karena ia terkejut melihat hal yang tak pernah sekalipun ia lihat
sepanjang hidupnya.
“Jangan buat saya malu di
hadapan orang-orang,” kata Senja. Ia menutup wajahnya yang tampak merah karena
malu.
Rombeng melihat Senja
berdandan, memakai lipstik yang membua bibirnya benar-benar merah seperti
delima. Sangat memikat, terlebih lagi dengan bibirnya yang tampak tebal.
“Jadi kepengen nyium.”
Sekejap, pipi Rombeng juga
ikutan merah. Bukan karena malu, tetapi kena tampar oleh Senja. Ia sedikit
merintih kesakitan. Sementara itu, Senja mengomel di hadapannya.
“Jangan lancang seperti
orang jalang. Ini adalah sesuatu yang spesial dari saya. Bukan untuk kau. Coba
kau cari laki-laki sana yang bisa kau cium!”
Itu bukan pertama kalinya
ia ditampar oleh Senja. Tapi itu bisa dibilang yang paling sakit, dan
membuatnya tidak main-main lagi terhadap Senja. Rasanya ia salah bicara hingga
ia segan untuk berkata lagi, atau setidaknya bereaksi yang macam-macam.
“Maaf. Keceplosan,” kata
Rombeng.
“Tidak apa-apa.”
*
Kata-kata itu menjadi padat
di pikiran Surip. Di kepalanya, seolah bangunan-bangunan yang ia bangun menjadi
runtuh seketika oleh kata-kata yang baru didengarnya beberapa waktu lalu. Ia
semakin berpikir dan terus berpikir seperti seorang pemikir. Hal itu membuat
kepalanya pening, seolah gravitasi semakin besar, atau seolah ada batu yang
jatuh dari langit menimpa kepalanya. Dan darah terus menetes sepanjang
langkahnya.
Ia menjadi bodoh. Ia tak
lagi mengenal alam. Tak lagi mengenal keluarganya. Tak lagi mengenal
kekasihnya, dan tak lagi mengenal dirinya sendiri. Kemudian ia mencari cermin,
tapi tidak ada cermin di jalan raya. Yang ada di hadapannya hanyalah kerumunan
orang yang sedang membunuh diri mereka sendiri tanpa tahu kehidupan.
Ia masih berjalan di
trotoar menuju rumahnya. Langkahnya semakin cepat seolah waktu mengejarnya.
Seolah ia benar-benar harus mencari cermin itu atau ia akan mati. Sampai-sampai
ia berteriak dan berlari-lari.
“Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiing!”
Banyak orang yang lewat,
tapi tak ada satu yang peduli padanya. Surip sampai menabrak tiang di pinggir
jalan, dan terjatuh. Tapi tetap tiada yang peduli padanya. Ada orang yang
menatapnya sinis. Ada orang yang kebingungan. Tapi semuanya hanya sekadar lalu,
dan selebihnya sama sekali tidak peduli. Yang paling dipedulikan oleh
orang-orang adalah bagaimana caranya saya untuk bisa hidup dalam semrawutnya
kehidupan ini.
*
Pagi hari, Bedor menoleh ke
kiri dan kanannya tidak ada siapa-siapa. Ia melihat ke atas, langit-langit
kamarnya runtuh sebagian. Kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh
wajahnya. Ia menuju cermin dan melihat mukanya ada jejak luka dan lipstik.
Ia merasa heran. Ia
mengingat kembali apa yang dilakukannya semalam. Ia mengingat dirinya mendengarkan
musik dan menari-nari. Lalu ada lagi setelah itu, tapi ia tidak ingat sama
sekali. Ia semakin berusaha mengingatnya, tapi kepalanya semakin sakit dan ia
menyerah untuk mengingat-ingat.
Setelah itu, ia merapihkan
kamarnya yang berantakan. Merapihkan langit-langit kamarnya yang runtuh,
merapihkan botol kaca yang pecah, merapihkan kasurnya yang berantakan. Juga
mengepel darah yang berceceran di lantai. Ia mencoba untuk tidak mengingat
kejadian semalam karena kepalanya pusing.
Sesudah ia merapihkan
kamarnya, ia mencoba membersihkan wajahnya. Juga merapihkan sendiri tubuhnya
yang tampak berantakan. Ia menuju kamar mandi, dan mandi. Ia membasuh
kepalanya, kemudian keramas.
Bedor selesai mandi. Ia
terkejut melihat seorang perempuan ada di kamarnya, tepat di atas kasurnya.
Bedor hanya mengenakan handuk. Lalu si perempuan itu berkata:
“Ayo kita main lagi.”
*
Sampai juga Surip di
rumahnya. Lalu ia langsung menuju cermin di kamarnya. Ia merasa sangat gelisah
dan bodoh. Ia bercermin, dan melihat bayangan dirinya di dalam cermin itu. Ia
berbicara pada bayangannya.
“Apakah benar ini diriku
yang utuh?”
Pertanyaan terlontar dari
mulutnya. Surip menunggu bayangannya menjawab. Tak ada jawaban. Hening.
Kemudian ia bertanya lagi dengan sewot. Tapi tetap tidak ada jawaban. Hanya
hening yang menjadi jawaban mutlak.
Ia menjadi beringas seperti
binatang buas. Ia tak berpikir lagi, dan hilang akal. Ia keluar dari rumahnya,
dan mencari sebuah pelampiasan. Lalu ia melihat sebuah bus hendak lewat di
hadapannya, dan segera ia berlari menghadang bus itu.
“Di mana engkau Tuhan!”
Tubuhnya menjadi
berserakan. Bus terus melaju, dan tidak menyadari bahwa ada seseorang yang mati
terlindas. Sang supir telah sibuk bermain dengan klakson bus, dan para
penumpang terlalu sibuk merasakan sedikit kegembiraan. Kebetulan saja, jalanan
kala itu tampak lengang.
*
“Semua laki-laki bisa
memerkosa. Benar bukan, Beng?” tanya Senja kepada Rombeng. Rombeng hanya
mengangguk agak mengiyakan sebab ia tidak mau dirinya ditampar lagi oleh Senja.
“Jawab, Beng!” maki Senja
karena ia tidak melihat Rombeng mengangguk sebab Rombeng berada di belakangnya.
“Ya,” jawab Rombeng,
singkat dan ketakutan.
“Kalau begitu, laki-laki
mana yang tidak bisa memerkosa kalau nafsunya sudah melebihi singa kelaparan.
Ia akan melahap perempuan mana pun, sekalipun perempuan itu adalah seorang
janda dan tidak enak dipakai lagi. Sekali laki-laki itu bernafsu, sampai lubang
longgar pun ia mau.”
Rombeng hanya mengangguk
dan selebihnya diam saja.
“Apa pendapatmu tentang
Bedor?” tanya Senja.
“Ia playboy.”
*
Rombeng menangis histeris
ketika ia tahu orang yang dicintainya mati dengan tragis dan penuh kekonyolan.
Ia mengetahui kematian Surip dari saksi mata yang sekaligus tetangga Surip. Tetangga
Surip meneleponnya, bahwa ia melihat peristiwa kematian Surip.
Rombeng terkejut bukan main
setelah mendengar kabar itu, dan sekejap menuju ke rumah Surip yang menjadi
tempat meninggalnya Surip. Di tempat itulah Surip meninggal akibat kelalaian
manusia yang begitu asyik dengan kesenangan pribadi seperti yang dikatakan oleh
tetangganya.
“Kau adalah laki-laki yang
kucintai,” kata Rombeng sambil memegang kepala Surip yang telah terpisah dari
tubuhnya. Ia memeluk kepala itu hingga benar-benar hancur karena sebelumnya
terlihat retak. Senja berusaha menenangkannya dengan cara yang kasar.
“Kalau begitu, untuk
selanjutnya, kau bisa mencintai perempuan. Cintailah perempuan! Bercintalah
dengan perempuan!”
“Tapi saya sudah telanjur
bercinta dengannya!”
Senja benar-benar terkejut
seolah ada suara bom meledak di kepalanya.
*
“Semalam?”
“Aku belum merasa puas,”
kata si perempuan.
“Kau serius?”
“Lebih serius dari sesuatu
yang ada di balik handukmu.”
“Kalau begitu, ayo kita
main lagi.”
“Tapi jangan di sini.”
“Di mana?”
“Di taman.”
*
“Bagaimana mungkin Surip
meninggal dengan cara konyol? Apa yang sedang dipikirkannya? Apa ia bunuh
diri?” tanya Rombeng kepada tetangga Surip.
“Kayaknya. Soalnya orang
ini tampak merentangkan tangannya dan berteriak sesuatu,” jawab saksi mata.
“Sesuatu apa?”
“Enggak tahu.”
“Bagaimana mungkin?”
“Saya keasyikan mendengar
suara klakson bis,” jawab si tetangga, kemudian ia pergi meninggalkan Senja dan
Rombeng
Rombeng kesal dengan
jawaban saksi mata. Terpikir olehnya untuk memotong mulut si saksi mata tapi
tidak ia lakukan. Kalau ia lakukan, maka tidak ada keterangan lagi yang bisa ia
dapatkan.
Senja menepuk bahu Rombeng
sebagai isyarat untuk tidak bertanya-tanya lagi. Sudah cukup jawaban dari si
tetangga. Sudah jelas siapa pelakunya, yaitu supir bus. Akan tetapi Rombeng
masih memiliki kejanggalan atas peristiwa ini.
“Menurutmu, apa yang
membuatnya melakukan hal ini?” tanya Rombeng yang masih menangis, kepada Senja.
“Saya tidak tahu.”
Senja berusaha menenangkan
Rombeng, masih dengan cara yang kasar. Kemudian ia pergi meninggalkan Rombeng
di tempat meninggalnya Surip. Ia ingin mencari Bedor supaya bisa memberikan
sesuatu yang spesial dari dirinya.
Kematian Surip benar-benar
mengganjal di pikiran Rombeng seperti benang yang kusut. Setelah ia sedikit
bisa menenangkan dirinya, terlintas di pikirannya untuk mengecek kamar Surip.
Barangkali ada petunjuk di sana, pikir Rombeng.
Rombeng mengharapkan ada
yang bisa menjawab pertanyaannya itu di kamar Surip. Setibanya di kamar Surip,
ia kaget melihat ada darah di cerminnya. Darah itu bertuliskan “baca pesanku”
dengan tanda panah ke bawah di bawahnya. Di bawah cermin itu terdapat secarik
kertas yang terlipat.
Rombeng menjadi berdebar.
Ia senang bisa menemukan petunjuk, tetapi juga takut dengan isi dari secarik
kertas. Tapi ia harus membukanya untuk menuntaskan rasa penasarannya.
Perlahan-lahan ia buka lipatan kertas itu. Lalu membaca isinya dari awal hingga
akhir.
Rombeng menjadi mengerti
letak persoalan ini. Ia menjadi tahu siapa pelakunya. Sehabis membaca pesan
terakhir dari Surip, Rombeng menjadi
naik pitam dan tidak bisa menahan hasrat untuk membalaskan dendam.
Ia mencari-cari pisau
hingga akhirnya ketemu. Lalu keluar dari rumah, dan berjalan dengan penuh emosi
sembari berkata:
“Aku akan membunuh Bedor.”
*
Bedor dan seorang perempuan
bercinta di taman. Banyak orang lalu lalang di taman itu, dan melihat
pemandangan tersebut. Sebagian ada yang menganggap hal itu menjadi hiburan dan
menontonnya. Sebagian ada yang berusaha tidak melihatnya, tetapi tetap juga
dilihat karena tidak sanggup menahan hasrat untuk tidak melihatnya. Sebagian
ada yang istigfar di dalam hati, tetapi tidak bisa menghentikan perbuatan Bedor
dan seorang perempuan yang bercinta di taman, di tempat umum. Di hadapan banyak
orang.
Melihat peristiwa itu, ada
sebagian perempuan yang tidak tahan untuk ikutan hingga menghampiri Bedor.
Bedor menerimanya hingga akhirnya mereka melakukan threesome. Lama kelamaan banyak wanita yang menghampiri mereka
termasuk Senja. Para lelaki menjadi iri melihat Bedor.
Beberapa saat kemudian,
datanglah Rombeng yang membawa dendam di taman, tempat keberadaan Bedor. Ia
memegang pisau yang sangat tajam dan cukup untuk membunuh Bedor. Nafasnya
memburu. Setelah ia tahu bahwa benar-benar ada Bedor di antara kerumunan wanita
yang telanjang, langsung ia lari. Ia sergap Bedor, dan langsung diiris lehernya
sampai putus.
Orang-orang yang melihat
kejadian tersebut benar-benar sangat kaget. Khususnya para perempuan yang
sedang antre. Senja benar-benar meluap amarahnya dan sangat kesal kepada Rombeng.
Sebelum Senja memaki-maki
Rombeng, terlebih dahulu Rombeng memberikan secarik kertas kepada Senja. Ia
membacanya. Belum selesai ia baca, para perempuan telenjang yang antre tadi
mengeroyok Rombeng. Mereka semua menyiksa Rombeng sampai mampus.
“Mampuslah kau!”
“Pergilah ke neraka
jahanam!”
Rombeng telah mampus. Para
perempuan tampak kesal dan menggerutu di dalam hatinya. Ada seorang laki-laki
menghampiri mereka dan tersenyum nakal.
“Sama saya juga boleh kok.”
“Gak usah!” jawab salah
seorang perempuan.
“Gak nafsu!” jawab
perempuan yang lain.
Para perempuan yang
telanjang kemudian mengenakan pakaiannya masing-masing dan kembali menjalankan
rutinitas mereka. Para laki-laki yang menonton kejadian barusan menjadi kecewa
karena tidak mendapatkan jatah. Sebagian orang yang lainnya yang tampak lalu
lalang tampaknya tidak peduli atas kejadian di taman itu.
Senja menangis melihat
Rombeng mati. Ia memakinya dengan kasar dan membacakan isi kertas yang
diberikan oleh Rombeng. Isi kertas
tersebut ialah:
Seperti kata Bedor, aku bukanlah laki-laki. Aku hanya
perempuan yang berpenis karena aku bercinta dengan Rombeng. Lalu apa esensi dan
eksistensiku sebagai manusia?
*
Kasus soal hubungan tidak
senonoh di taman dilaporkan oleh salah seorang yang mengucapkan istigfar ketika
melihat hal tersebut. Kemudian didatangkan Senja sebagai saksi ahli.
“Saya tidak tahu,” ucap
Senja setelah diajukan pertanyaan.
Mendengar kesaksian dari
Senja, sang hakim menjadi semakin bingung memberikan keputusan. Para peserta
sidang pun juga semakin bingung. Hingga akhirnya kasus ini menjadi kasus yang
tidak pernah selesai seperti kasus Munir dan kasus-kasus soal ketidakmanusiaan
lainnya.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar