Saya Tidak Penting
Karya : Okta Novanto
Jalan
di Sokaraja mulai padat. Saya terjebak macet di antara aroma getuk goreng,
polusi udara menebal, dan klakson yang terus berbunyi dari mobil-mobil setan
serta motor yang dikendarai jin jahat. Di lain sisi, ada anak muda yang sedang ngelindur menjadi Valentino Rossi,
menyalip setan serta jin dengan mudahnya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya
saya bisa melaju semeter demi semeter. Tapi, tiba-tiba macet lebih parah.
Ternyata pemuda tadi mengalami kecelakaan. Tubuh Rossi jadi-jadian itu masuk
kolong truk pertamina, kepalanya menjadi ganjalan roda depan, otaknya keluar,
tetapi di otak tersebut tidak ada gagasan untuk Indonesia yang lebih maju.
Saya
melanjutkan perjalanan dengan hati yang masih tidak tega. Struktur otak yang
sudah pecah itu terus terngiang, ditambah ibu-ibu yang pingsan gara-gara
terkena cipratan darah dari kepala yang tergilas. Tidak terasa ban motor sata
bocor. Untung bukan kepala saya yang bocor. Untung tidak disikat truk pertamina
dari belakang. Untung, untung, dan untung. Tapi saya harus segera sampai
kampus, sebab ada kuis hari ini. Jika tidak ikut, saya dipenjara dalam ruang
dosen beserta soal lisannya.
Saya
menuntun motor dengan semangat karena kepala tidak bocor. Dokter ban sudah
terlihat di depan, terlihat juga bapak bengkel yang sedang melamun telah
menyadari kedatangan saya. Kira-kira bagaimana perasaan bapak itu, apakah dia
senang karena rezeki datang, apakah dia sedih karena melihat ban motor saya
bocor, apakah saya tidak penting baginya sehingga tidak usah dipikirkan? Ah,
saya tidak penting.
“Delapan
ribu, mas,” ucap bapak-bengkel setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Saya
lanjutkan perjalanan. Macet kembali terulang. Ternyata ada sisa kecelakaan
beruntun. Saya tanya ke bapak-bapak yang sedang berdiri di depan warung sambil
melihat sisa-sisa kejadian tersebut.
“Pak,
itu kecelakaan kapan terjadi?”
“Sekitar
setengah jam yang lalu, mas. Kalau masnya melaju lebih cepat, kepala mas
mungkin sudah ada di sela-sela roda besar truk itu,” jawabnya sembari menunjuk ke
arah saksi bisu kecelakaan.
Sampai
pada ruang kelas, sudah ada dosen yang menunggu saya untuk memulai kuis. Dosen
membagikan kertas, lalu mulai berbicara, “Teman-teman, tuliskan puisi tentang
kejadian yang paling dekat dengan keadaan teman-teman sekarang.”
Lalu
saya hanya menggambar helm Valentino Rossi dengan bercak darah, dan roda truk
yang terganjal kepala, serta ibu-ibu dengan baju bercorak darah.
Saya
merasa kalau saya tidak penting ketika melihat begitu banyak kejadian. Saya
benar-benar tidak penting, justru lebih penting yang saya lihat daripada alat
saya untuk melihat. Besok pagi mungkin saya sudah melihat Valentino Rossi
memakai helm bergambar bercak darah sambil memboncengi ibu-ibu yang memegang
tali, yang pada ujung satunya terkait dengan truk pertamina yang membawa getuk
goreng.
Setan
sudah dibelenggu, jin sudah taubat, tetapi masih banyak orang berjudi di
gorong-gorong, padahal di situ sangat bau.
Banyak
juga orang-orang yang sedang atraksi di lereng Gunung Slamet sambil mengenakan
topeng dan membawa kertas bertuliskan:
Aku sedang melakukan apa
yang mereka lakukan. Aku sedang menjadi robot. Jika aku tidak menjadi robot,
maka istri anakku besok makan krikil di depan rumah.
Gunung
Slamet berteriak keras-keras: “INI BANJIR UNTUKMU!!!!”
H
I L A N G.
Komentar
Posting Komentar