MARKAH ABRASI
Karya: Anggota Teater Teksas 2017
Di bawah tempat tidur, ia kedinginan dengan mata nyalang. Domba jantan hari ini belum menyelamatkannya, entah urusan cinta atau keluarga. Bibirnya dibungkam tangan tak terlihat meski suaranya sudah di ujung lidah yang terikat oleh perjanjian orang tuanya. Widuri benar-benar tak bersuara, tangisan malam ini lebih sunyi dari hujan kemarin sore. Matanya tak berhenti dijejali minuman keras seorang penjual buku. Terlebih malam ini, seluruh tubuhnya takut dan gemetar.
Fragmen 1
Adegan 1
Widuri duduk meringkuk di celah antar kursi ruang keluarga. Kedua tangannya mencengkeram tepi lembar koran. Bola matanya bergerak lincah mencari sesuatu, dan kemudian terhenti pada satu titik. Lalu gerak bola matanya melambat sambil perlahan kedua ujung bibirnya tertarik ke atas. Matanya berbinar penuh harap. Bintang itu bilang, orang yang kau perhatikan juga memerhatikanmu diam-diam. Ia lalu mengambil bolpoin di sebelahnya, menuliskan sesuatu di koran itu. Mulutnya bergumam seolah memandu tangannya menulis. A-ku cin-ta Bi-ru. Perempuan itu mendongak dan memejamkan matanya, menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan lembut. Kembali bola matanya bergerak perlahan menyusuri kumpulan aksara. Tiba-tiba raut wajahnya berubah mendung, dahinya berkerut. Jemari tangannya semakin mencengkeram tepi lembar koran. Deru napasnya memburu. Widuri gemetar. Meski begitu, matanya tak mau dilepaskan dari halaman koran itu. Bintang itu bilang, yang menjadi milikmu akan hancur perlahan.
Widuri : (teriak) Gelap dan terang. Aku ingin ke mana? Tidak. Aku tidak ingin ke mana pun. Aku akan tetap di sini, membaca bintang, dan menghias diri. Tapi kalau tetap di sini, lama-lama aku muak dengan suara diam.
Widuri : Sstt! Kau dengar sesuatu? Tidak kan? Tidak ada suara apapun bukan? Tidak ada orang bukan? Naah, hahaha, kalau begitu aku bisa melepaskan tali ini, dan bergerak sepuasnya! (berputar) Sekarang dengar sesuatu? Dengar? Aku sedang menciptakan sebuah alunan lagu. Lagu yang manis dan lembut. Seperti permen kapas yang dijual di pasar malam tahun lalu. Dengar? Indah kan? Aku akan menari seperti ini, ini, lalu seperti ini. Aku berputar dan melompat setinggi bintang. (melambai) Hei, Biru!!! Aku di sini! Mari menari bersamaku. Ayo sini, pegang kedua tanganku. Bintangku bilang, kau diam-diam memperhatikanku, bukan? Ternyata kau juga menyukaiku, bukan? Putar aku, Biru! Menari seperti putri-putri dalam dongeng istana. Biarkan aku menjadi putri sekali ini, sebelum manusia api dan penyihir itu kembali saling serang, dan semua yang aku miliki akan hancur! Ayolah, Biru!
Adegan 2
Seorang pria datang, tangan kanannya melambai lemah dengan botol hijau digenggamannya. Tangannya yang lain menyeret tas hitam. Dasi di lehernya terkulai. Terdengar gumaman kasar dari mulutnya. Widuri yang sedang menari hebat, tiba-tiba berhenti dan melangkah mundur ketika melihat pria itu.
Bapak : Dua ratus.. tiga ratus.. empat, lima, enam... satu juta! Hahahahahah!! Tapi belum semuanya, belum pada bayar sih! Bayar sepuluh ribu aja susahnya minta ampun! Duit buat buku katanya tidak ada, eh mal-mal malah makin rame. Orang-orang sekarang makin aneh, ngakunya tidak punya uang, mengemis ke sana kemari. Memasang visi misi di pinggir-pinggir jalan. Tapi gelangnya ratusan seperti artis india, kendaraannya saja sudah tidak mau menggunakan bebek. Maunya menggunakan yang kakinya banyak, biar cepat sampai kalau mau kabur yang jauh. Hahahahahahah!
Bapak : Coba saja kalo semua duitnya udah kumpul, jangankan ciu plastik. Anggur yang paling mahal, pasti kebeli. Hahahahaha!!!!
Widuri : (berjalan mundur seraya ketakutan)
Bapak : (karena terpengaruh alkohol, dia tidak bisa melihat Widuri dengan jelas) Widurii!! Widuri!! Dimana kamu?! Aku bawakan kau uang yang banyak dan berikan kepada dokter-dokter bajingan itu, supaya bisa menyembuhkan bisumu itu!! Aku sudah muak dengan cacat yang kau miliki!! Widurii!! Cepat!!!
Widuri : (sesenggukan)
Bapak : Haaah!!! Menangis terus kerjaanmu! Bosan aku mendengar suara tangis lewat mulut bisumu itu!!
Widuri : (mendekati bapaknya dengan ketakutan)
Bapak : Hei, bodoh! Pakai telingamu. Kemarilah. (menarik baju Widuri, berbicara keras di telinganya) Aku ini kerja, kau hanya menari-nari seperti itu? (Widuri hanya bisa menangis, Bapak semakin marah melihat dia menangis) Berhenti menangis! Atau ku tampar? Kau tau kan aku benci orang lemah.
Widuri tak bisa menahan tangis, walaupun sudah diperingatkan. Bapak langsung menamparnya dan memukuli badannya dengan botol alkoholnya.
Bapak : Diam! Diam! Diam! (terus memukul hingga separuh alkoholnya tumpah ke lantai)
Bapak : Aku lelah, Bodoh! Uang tidak mengalir, ketika pulang melihatmu hanya seperti itu. Apa kau merasa senang? Senang hah melihatku menderita?! (meminum sisa alkohol pada botol yang dipegangnya)
Bapak : Bocah bodoh! Tak mau berubah!
Widuri tak tahan dengan pukulan itu, akhirnya dia memberanikan diri mengelak dari pukulan bapaknya dan lari ke kamar.
Bapak : Dasar bisu sialan!
(blackout)
Fragmen 2
Adegan 1
Surya sudah sempurna condong terlihat, meski begitu jejak bau matahari siang masih melekat dalam penciuman Widuri. Dia duduk di sebuah bangku dalam taman penuh bunga. Membawa koran edisi kemarin, dibuka tepat pada halaman zodiak tertera. Menanti langitnya memasang telinga.
Widuri : Siap?
Biru : Selalu, Widuri.
Widuri : Tahu tidak? Bintangku bilang, hari ini, aku akan mendapatkan banyak kejutan.
Biru : Kejutan?
Widuri : Iya, aku harap itu kejutan yang manis. Seperti saat ini.
Biru : Maksudmu?
Widuri : Ketika aku berada di tungku api, aku merasa seperti napi. Tidak punya kompas. Tidak punya keinginan. Pahit, tetapi getir dirasa. Namun, ketika aku di sini, rasanya begitu manis. Aku bisa menceritakan apa yang kurasa, apa yang aku inginkan, dan aku mempunyai empat telinga. Dua telinga milikku, dan dua telinga milikmu.
Biru : Lalu?
Widuri : Kemarin aku dipukuli lagi. Rasanya sakit, Biru. Di sini dan di sini. Warnanya biru, tapi aku tidak suka biru yang ini. (tersenyum)
Biru : Kenapa bisa kau dipukuli lagi? Tidak coba memberontak?
Widuri : Tidak! (Menggeleng dengan amat sangat yakin) Itu sudah diramalkan oleh bintangku. Aku tidak mungkin bisa menghindarinya. Ia selalu memberitahuku dan selalu tepat sasaran. Kau tentu tahu itu dengan baik, bukan?
Biru terdiam untuk beberapa saat, kemudian Widuri menyikutnya. Dan memberikan koran yang dipegangnya untuk meyakinkan omongannya.
Biru : (Biru menerima koran itu, namun hanya diliriknya, bukan dibaca) Tidak salah kalau kau selalu percaya dengan bintang-bintangmu itu. Tapi, jangan lupakan hidup dan mimpi-mimpimu. Seorang Widuri harus mampu menghadapi apa yang memang harus langsung dihadapinya. Mencoba membuat ramalan indah untuk hidupnya sendiri.
Widuri merengut. Dia selalu senang membuat ekspresi itu di depan Biru. Entahlah, rasanya menyenangkan.
Biru : Ada apa? Takut? Takut impianmu gagal di tengah jalan? (menaruh koran yang dipegangnya sembarang)
Widuri menggeleng pelan, tetapi justru perasaan pengecutlah yang tergambar di wajahnya.
Biru : Widuri, biar kuberitahu satu hal. Sekali kau takut, kau akan terbunuh berkali-kali. (menyunggingkan senyum)
Widuri : Tapi aku merasa sendirian, Biru. Tidak ada yang mau mendukungku untuk itu. Orang tuaku tidak pernah mau mendengarkanku. Hidup mereka hanyalah tentang kehidupan mereka sendiri.
Widuri : Memangnya mereka mempunyai impian sepertiku? Kurasa tidak, Biru. Bapak selalu pulang dengan wajah kemerahan dan tubuh yang lunglai, seperti tidak ada semangat hidup, tapi tetap saja ketika memukulku tenaga yang dia pakai seolah penuh dengan ambisi. Tidak jauh berbeda dengan orang-orang berdasi yang mementingkan kepentingan pribadi. Ibu? Dia selalu menuntutku untuk begini dan begitu. Rasa dan inginku sendiri terkubur jauh dalam keinginannya. Aku seperti boneka.
Biru : Mungkin mereka bermaksud baik, tapi caranya saja yang tidak sesuai dengan kemauanmu. Bagaimana? Sudah mencoba saranku waktu itu? Coba kau bilang secara langsung, atau kalau kau tidak berani, kau bisa mengatakannya melalui surat, seperti surat-surat yang sering kau buat untuk disimpan sendiri.
Widuri : Sudahlah, Biru. Aku lelah. Aku tidak seberani itu.
Biru : (menggaruk tengkunya yang tak gatal) Tapi kau berani bilang padaku, bukan? Itu artinya, kau sebenarnya berani, Widuri. Kau memiliki keberanian itu.
Widuri : (mengalihkan pandangan) Biru, apakah orang tuamu melakukan hal yang sama padamu, seperti yang kedua orang tuaku lakukan terhadapku?
Biru : Kurasa masing-masing orang tua memiliki cara sendiri untuk menyampaikan kasih sayang terhadap anaknya, Widuri.
Biru : (memikirkan suatu cara) Ah! Bagaimana kalau sekarang kita tersenyum saja. Seperti ini (Biru menempelkan kedua jari tangannya di masing-masing pipinya. Kemudian menarik garis pipi dan menunjukkan giginya lebar-lebar, kemudian dia melakukan hal yang sama di pipi Widuri). Kita cari obatnya bersama!
Widuri : (Tertawa lepas, kemudian perlahan merengut kembali) Tapi, Biru, kau tahu. Bahkan orang-orang yang berada dibalik pintu rumahku menolakku. Saat aku melangkah keluar, mereka memandangku dengan tatapan itu, tatapan yang mengungkapkan jika mereka tidak menyukaiku atau bahkan mereka merasa jijik terhadapku.
Widuri : (bangkit dari tempat duduknya) Biru, jika aku diberi sebuah pilihan, rasanya aku ingin terlahir tuli. Kurasa jika aku tuli, aku akan bahagia (tersenyum). Karena aku tak akan bisa mendengar suara-suara yang keluar dari mulut mereka, suara-suara yang kerap membicarakan tentang keadaanku yang menyedihkan ini.
Biru : Siapa yang bilang keadaanmu menyedihkan? Lagipula, kalau kau tuli, kau tidak bisa mendengar suara orang tampan di sebelahmu ini, kan? Yakin tidak menyesal?
Widuri : (merengut, menggeleng kepala)
Biru : Yakin?
Widuri : (Menggeleng semakin mantap, namun lengkungan bibirnya berubah ke atas.)
Biru : Yakin, Widuri? Waktu itu, sepulang aku mudik tiga hari, kau sudah seperti orang gila saat kita bertemu. Bibirmu paten merengut, air matamu seember, rambutmu acak-acakan seperti ini nih, seperti ini.
Biru mengacak rambut Widuri, yang disusul dengan kejar-kejaran mereka berdua seperti anak kecil. Widuri tertawa lepas. Sesaat kemudian, mereka kembali duduk bersebelahan.
Biru : Widuri, kalau kau memang tidak bisa mengungkapkan kepada mereka yang berada di rumah, seperti saat tak ada yang mendengarmu saat kau sekolah dulu, telingamu tetap ada empat. Di sini dan di sini (memegang telinga Widuri, kemudian memegang telinganya sendiri) Jangan pernah sekalipun kau lupakan hal itu (mencolek hidung Widuri), selamanya.
Biru : Setiap hari kita akan bertemu di sini, seperti hari-hari sebelumnya. Tepat jam tiga sore. Seusai urusanku di sekolah selesai. Jadi, tidak alasan untukmu takut lagi.
Biru mengambil koran di sebelahnya dan bermaksud mengembalikannya pada Widuri. Namun ia justru menangkap tulisan AKU CINTA BIRU. Perasaan kaget hinggap tiba-tiba. Tapi ia memilih berpura-pura biasa saja.
Menyadari hal itu, Widuri cepat-cepat menarik koran di hadapannya dan mendekap erat koran itu di dadanya.
(Blackout)
Fragmen 3
Adegan 1
Rumah sepi, seperti saat pertama kali dia dan suaminya menapaki halaman depan. Mereka mempunyai status di atas kertas, lengkap dengan tanda tangan penghulu, saksi dan tentunya mereka berdua. Namun tidak demikian di atas bumi. Tatapan mereka selalu kosong. Sampai tiba di suatu titik, di mata perempuan itu, tercermin suatu perasaan lebih hingga mereka dikaruniai seorang anak.
Ibu : Perempuan itu, yang nampaknya tangguh, tiba di suatu tempat yang belum pernah ia pijaki sebelumnya. Tempat di mana ia tidak tahu harus bahagia atau sedih. Harus tersenyum atau tertawa. Harus membanggakan perasaan cintanya, atau justru mengasihaninya. Ia senang akhirnya memiliki jembatan yang bisa menghubungkan jaraknya dengan suaminya sendiri. Ia berharap—setelah sekian lama tidak tahu apa arti harapan itu sendiri. Berharap suatu hari anugerah yang diberi kepada rahimnya bisa membuat perkawinannya melampaui nilai seperti perkawinan orang lain. Mempunyai rasa. Tidak hambar.
Ibu : Harapan itu runtuh seketika setelah mengetahui dengan pasti bahwa anugerah yang datang kepadanya bahkan tak bisa bersuara layak dirinya. Anugerah itu bisu. Anaknya bisu. Bukan jembatan yang terbangun, justru jurang terjal yang semakin hari semakin dalam.
Sendirian di rumah, ia memikirkan garis hidupnya yang sedemikian rumit.
Ibu : Masa kecilku sudah susah, kenapa anakku harus susah juga. (menangis tak sadar)
Tak sadar, ia berbicara kepada dirinya sendiri, menceritakan kisah hidupnya sendiri. Seolah menjabarkan pada dirinya sendiri betapa hidupnya memang teratur dalam kesengsaraan.
Ibu : Sudah cukup sepertinya, ketika ayahku memilih perempuan itu dibanding Mama, kemudian Mama sakit, dan meninggal dengan perut buncit, seolah memendam seluruh dukanya di perut itu. Ya, sudah cukup sepertinya untuk masa kecilku yang aneh. Dipaksa tinggal serumah dengan perempuan yang merebut ayahku sendiri. Dipaksa mengumpulkan uang yang tak pernah kunikmati sendiri. Ditahan dalam tempat yang lebih patut dikatakan penjara dibandingkan rumah. Dilarang mengurusi nenekku yang sudah jelas-jelas butuh orang muda untuk menjaganya.
Ibu : Sudah cukup sepertinya. Ketika aku memutuskan membuat perjanjian dengan temanku sendiri dalam sebuah tali pernikahan demi pulang ke rumah ini. Rumah yang menjadi saksi jalannya perjanjian kami. Perjanjian untuk tidak mencampuri kehidupan masing-masing, untuk tidak memikirkan apa arti pernikahan sebenarnya, untuk sepakat tidak peduli pada perasaan yang seharusnya ada dalam pernikahan.
Ibu : Apa memang ya, takdir seperti ini.
Ibu : Sesekali aku ingin tinggal bersama anakku saja, dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Ya, walaupun aku banyak keinginan dan lebih sering menuntutnya. Walaupun juga aku tahu ia tertekan. Aku tega sekali kedengarannya. Itu karena aku ingin melihat pemandangan yang indah pada anakku, harta terbesarku.
Ibu : Widuri, aku namai ia Widuri. Hanya aku yang menamainya saat itu. Aku begitu ingin ia menjadi perempuan tangguh melebihiku. Aku begitu ingin ia menjadi seorang yang hebat, agar bisa membungkam penghuni kampung ini yang terus saja menyepelekannya. Widuri, aku ingin ia menjadi anak yang selalu tersenyum bahagia. Tidak seperti sekarang, wajahnya selalu dialiri sungai yang kemudian hanya bermuara pada kesunyian.
Ibu : Meski begitu, kehadirannya menjadi pemicu timbulnya bercak rasa pada perjanjian awal di pernikahan kami. Tapi, hei, hanya aku. Tidak dengannya yang bisa-bisanya tak punya bercak itu. Hati perempuan mana yang tidak menciptakan bercak tersendiri ketika—yang awalnya terpaksa—tinggal bersama dengan seorang lelaki? Perempuan mana coba sebutkan? Pasti ada. Berani jamin dengan seluruh sisa tabunganku, ada, meski hanya sebuah bercak. Namun bercak itu diselimuti perjanjian, kontrak, atau apalah sebutannya, sehingga ia tidak bisa menyebar. Terus di situ, tidak tahu bisa menghilang atau bahkan mengakar.
Ibu : Berada di tanah air yang tidak bisa menjadi tanah dan airku. Di tanah yang katanya surga. Benar surga. Surga bagi orang-orang yang memang sudah ditakdirkan berada di atas. Ditakdirkan punya awan tebal untuk mengawang. Ditakdirkan punya keahlian membuat topeng untuk menutupi kelicikannya. Aku harus mencari air di tanah orang. Setetes demi setetes untuk kukirimkan kepada anakku. Setetes yang harus kulalui dengan ribuan peluh melalui tangan-tangan kekar yang menempel di pipiku.
Ibu : Sepulangku dari negeri jiran mereka membekaliku sejumlah uang. Uang yang menghidupiku saat ini. Televisi, kasur, kulkas, segala macam untuk digunakan bersama penghuni rumah ini. Yang justru pergi satu per satu menuju timbangan hijau, karena semakin ke sini tabungan bekalku semakin berkurang. Sementara lelaki itu, dia hanya mencari untuk kehidupannya. Sungguh, jika saja aku bisa pergi dari dunia ini, aku akan. Jika saja aku bisa memutar waktu, aku akan.
Adegan 2
(Bapak masuk dengan wajah sumringah bak sehabis memenangkan lotre. Yang ia kenakan berbau legit. Bersenandung bak anak kecil yang telah dibelikan mainan baru. Tapi setelah matanya menangkap sosok asing—namun dekat dalam hidupnya, raut berubah menjadi dingin tanpa garis. Senandung berubah sunyi.)
Ibu : (membau) Bapak habis dari mana?
Bapak : Bukan urusanmu.
Ibu : Bapak bau perempuan.
Bapak : Berkali-kali kubilang, bukan urusanmu! Urusi saja hidupmu dengan si bisu itu! Dengar hah?! (menekan-nekan jidat Ibu) Urusi. Saja. Hidupmu.
Bapak : Kau bilang tadi apa? Bau perempuan? Lalu? Kenapa? Kau cemburu hah? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak saling memiliki rasa? Kau sendiri yang menawarkan hal itu bersamaan dengan suara memelasmu. Kau bisa tinggal di rumah nenekmu, dan aku tetap dengan hidupku yang bebas. Suatu tambahan bagiku dan kebodohan bagimu, ketika malam itu kau kembali memohon-mohon kepadaku. Aku ini lelaki tulen, ingat? Kau yang ingin dan kau pula yang harus bertanggung jawab.
Ibu : Tapi seharusnya jika Bapak seorang lelaki yang tulen, Bapak juga ikut bertanggung jawab. Kalau Bapak tidak mau, kenapa Bapak mau ketika malam itu? (menahan kesal dan sedih) Dengan adanya Widuri seharusnya Bapak punya sedikit rasa tanggung jawab, bukan malah menggenggam erat botol hijau dan bermain dengan perempuan lain.
Bapak : Seharusnya... seharusnya... kau siapa berani mengatur hidupku? Mau aku mabok kek, main perempuan kek, bebas! Itu kesepakatan awal kita, bukan? Atau jangan-jangan kau melupakan hal itu?
Ibu : (menangis)
(Tanpa mereka sadari, Widuri datang dengan koran lusuh di tangan. Melihat Ibunya menangis, langkahnya terpaku. Ingin dia ke sana, tetapi takut lebih menguasainya.)
Ibu : Widuri itu darah dagingmu, Pak. Ingat itu pula...
Bapak : (mencengkeram dagu Ibu) Persetan dengan bisu bodoh itu! Sebaiknya kau camkan kembali perjanjian kita. Aku mau menikahimu hanya karena aku sudah muak dengan suara mohon-mohonmu itu. Sekarang kau sudah kembali ke rumah ini. Selesai. Kau hidup dengan hidupmu—ditambah si bisu itu, dan aku hidup dengan hidupku. Camkan baik-baik! (mendorong dagu Ibu kuat-kuat hingga limbung)
Widuri : (berteriak-teriak tak jelas sambil menghampiri ibunya, lalu berusaha memarahi bapaknya)
Bapak : (mencengkram mulut widuri) Ngomong apa kau hah?! Mulutmu itu dibuat untuk berbicara dengan jelas agar orang bisa mendengar! Bilang pada ibumu itu, tak usah campuri urusan orang lain! Bilang sekarang, bilang!!
Widuri : (berusaha melotot ke bapaknya, dan hampir menangis)
Bapak : APA?! APA?! Kau mau marah?! Mau marah padaku?! Marah saja, marah! Keluarkan suaramu, Bisu! (mendorong Widuri hingga jatuh)
Ibu : Apa yang Bapak katakan, tidak selaras dengan apa yang Bapak lakukan! Sekarang jawab Ibu, kenapa Bapak masih mau tinggal di rumah ini? (berteriak histeris) KENAPA KAU TIDAK PERGI SAJA HAAHH?!!!
Bapak : DIAM!!! (menampar Ibu)
Widuri mundur teratur. Pikirannya melayang pada percakapan dua orang di depannya. Bukan mengenai celaan yang keluar dari mulut bapaknya. Itu sudah terlalu ramah ditelinga. Tapi mengenai kata-kata lain yang baru pernah ia dengar. Kata-kata yang akhirnya menjawab seluruh pertanyaannya selama ini. Perjanjian? Perkawinan karena perjanjian? Emosinya berkecamuk.
Tak sadar, ia berjalan menjauhi rumah tanpa arah tujuan yang jelas. Ia tahu sekarang mengapa tak pernah ada tegur sapa yang waras antara dua orang dewasa itu di rumah. Ia mengerti mengapa mereka selalu adu mulut setiap kali berpapasan. Ia mengerti sekarang mengapa Ibu selalu menekannya, karena Ibu berharap lebih pada sosok Widuri. Menjadi penghubung antara dua orang yang selalu mempunyai jarak itu. Ia mengerti mengapa Bapak selalu memukulnya setiap kali bertemu, karena kehadiran Widuri justru menjadi alasan kuat untuk mereka berdua agar tak bisa berpisah.
Ibu dan Bapak tak menyadari kepergian Widuri di sela-sela pergulatan emosi mereka.
Ibu : Sudah cukup. Cukup. (menekankan pada setiap kata) Seharusnya kau sadar, laki-laki itu semestinya bagaimana. Punya rasa tanggung jawab, meski sedikit. Aku kira kau akan punya rasa belas kasihan ketika melihat anak kita dengan keterbatasannya, bisa menjadi jembatan bagi kita.
Bapak : Jembatan? Jembatan apa yang kau maksud? Masih tidak habis pikir aku. Sebocah itukah kau?! Apa kau lupa dengan apa yang kulakukan sembilan belas tahun lalu? Hah?! Sebegitu sombongnya kau menceramahku!
Sebelum Ibu sempat menjawabnya, terdengar suara decitan mobil yang disusul dengan suara benturan keras.
Adegan 3
Di ruang tamu, seolah itulah satu-satunya tempat yang ada di rumah itu, Ibu duduk di sebelah Widuri, sambil sedikit memaksanya untuk makan. Widuri tak bergeming. Pandangannya kosong. Tubuhnya yang masih beranjak pulih setelah kecelakaan kemarin mendukung untuk membuat suasana diam itu semakin kuat. Ibu tak kuat melihatnya. Satu-satunya harapan dalam kehidupan rumah tangganya sekarang benar-benar rapuh. Semampu ia menahan tangis, semakin kuat pula keinginannya ia menangis. Ia tak tahan untuk menanggung hidupnya sendiri, dan kini ditambah lagi dengan hidup anaknya.
Ibu : Widuri, ayo makan.
Sudah dicobanya untuk bertutur halus. Sekali saja, untuk yang pertama dan barangkali terakhir, pikirnya. Namun justru tetap suara ketus yang muncul di sana. Masih saja terbersit ia harus membuat Widuri sebagaimana nama Widuri itu bermakna.
Ibu : (menaruh piring di atas meja di hadapannya) Widuri, Ibu tahu kamu kecewa dengan Ibu dan Bapak. Ibu tahu kamu marah. Ibu tahu kamu sedih. Tapi bukan cara seperti ini yang harus kamu tempuh. Ibu mendidik Widuri dengan keras untuk menjadi anak yang kuat. Bukan seperti ini. Bunga Widuri tumbuh di sawah, ladang, tempat-tempat kotor tapi tetap menawan dan punya caranya sendiri untuk hidup. Widuri berkhasiat untuk mengobati macam-macam penyakit. Itu seharusnya kamu sekarang. Ibu harap kamu bisa mengerti kenapa ibu bersikap seperti ini padamu. Pikirkanlah Widuri, kamu lebih kuat dari yang kamu kira.
Ibu pergi, entah kemana. Yang jelas ia tidak mau menangis di depan Widuri. Tidak untuk saat ini.
Sementara itu Widuri sendiri hanya punya satu pilihan sekarang. Mencari Biru.
Fragmen 4
Adegan 1
Di dalam kamarnya, ibu menangis sejadi-jadinya. Meluapkan seluruh emosinya yang berkecamuk di kepalanya, perasaannya dialirkan melalui guncangan tubuhnya yang tak terkontrol.
Tidak ada yang bisa memahami ibu. Bahkan ibu sendiri pun tak bisa.
Adegan 2
Semua orang melihat bapak adalah sosok apatis yang memang wajar disalahkan. Laki-laki yang tak pernah mau memberi uang pada istri anaknya, lebih memedulikan judi dan wanita lain mengisi hari-harinya yang seorang diri. Laki-laki itu sekarang berjalan lunglai tak tentu arah. Ia menghentikan langkahnya, kemudian duduk dengan asal saja. Merenungkan nasibnya sendiri, hal yang sangat jarang dilakukannya.
Semua adegan terlintas di pikiran Bapak. Saat ia mau menikahi temannya untuk membantu. Dicintai oleh istri sahnya yang tak pernah ia cintai sampai sekarang. Mempunyai anak yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Semua itu salah. Tapi memang begitu skenarionya. Perjanjian itu mengikatnya. Ditambah anak yang hadir. Mungkin semua orang menganggap ia orang yang bejat, namun satu sisi dari dirinya masih menyadari, dia tidak melakukan sesuatu yang salah.
Tak terasa air mata menetes membasahi pipinya yang menonjol. Ingin mengeluarkan pikiran yang menghantui, Bapak berteriak.
Adegan 3
Widuri berjalan melawan rasa pegal yang menjalar di beberapa bagian sendinya. Ia menahan tangis selama perjalanan itu. Ia tahu tempat di mana air mata itu harus tercurah. Mulutnya mengomat-kamitkan sebuah nama. Sebuah nama yang selalu ia simpan dalam hati dan pikirannya.
Sampai di tempat itu, taman bunga yang selalu menjadi tempat favorit Widuri, tak ditemukannya bayangan yang diharapkan. Tak ada Biru yang akan mendengarkannya. Widuri duduk di bangku favoritnya dengan Biru. Menunggu dan menunggu. Sesekali celingukan ke arah Biru biasa datang.
Matahari sudah condong ke barat. Lama ia menanti, hingga akhirnya ia menyerah. Tangisnya pecah. Tubuhnya berguncang. Ia tak tahu lagi menangis karena apa. Ataukah karena permasalahannya di rumah, atau karena Biru tak datang—mungkin untuk selamanya.
Diselesaikan di Karangsari, 8 April 2018 pukul 01.20
Disunting di Grendeng, 8 April 2018 pukul 16.23
Komentar
Posting Komentar