Berbicara mengenai pementasan, sudah tentu akan beriringan terhadap naskah yang akan dibawakan. Setidak-tidaknya, kita mesti mengerti kedudukan naskah, yang selain sebagai sebuah karya sastra, juga sebagai teks kolektif pementasan. Mengapa dikatakan kolektif? Karena secara ideal menurut saya, naskah dalam sebuah pementasan berangkat dari keresahan para pementasnya dalam suatu proses kolektif. Apabila teks itu hanya menjadi kegelisahan segelintir orang, tak bisa dipungkiri terjadinya miskonsepsi atau kecacatan proses lainnya.
Rasa gelisah itulah yang menjadi motivasi paling penting para pementas untuk menyampaikannya kepada orang lain (penonton). Apabila kegelisahan itu sudah ada, pementas akan berada dalam tahap kesadaran terhadap isu yang ingin disampaikan. Karena rasa gelisah itulah yang barangkali dapat menjadi dasar atau landasan untuk selalu mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan isu yang akan disampaikan. Bila rasa gelisah tak ada, apalah artinya pementasan? Toh, setiap kata-kata atau simbol-simbol yang disampaikan hanya sekadar kata-kata atau simbol-simbol tanpa adanya perenungan di sana.
Kegelisahan itu memang tak bisa dipaksakan adanya. Bisa jadi, kegelisahan setiap manusia berbeda-berbeda dalam menyikapi segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Oleh sebab itu, perlu diadakannya diskusi saat hendak melaksanakan proses berteater terhadap kegelisahan masing-masing. Hingga pada akhirnya, kegelisahan-kegelisahan orang-orang yang terlibat di dalam suatu proses berteater dapat terwujudkan melalui naskah yang bisa dibuat dalam kelompok tersebut, atau menggunakan naskah orang lain dengan beberapa penyesuaian.
Perwujudan naskah sebagai teks kolektif bukan semata-mata bahwa teks itu tebal, menceritakan isu yang besar, dan lain-lain, tetapi yang paling mendasar ialah bahwa para pementas dan naskah punya keterikatan batin yang kuat. Maksudnya ialah, pementas merasa sangat perlu untuk menyampaikan isu yang ada dalam naskah.
Apabila dianalogikan elemen-elemen panggung dengan naskah, mungkin tampak seperti manusia. Keseluruhan artistik mulai dari actor, setting, lighting, music, make up, dan costume adalah badan, sementara naskah adalah ruhnya. Bayangkan saja bila “badan” itu tampak sempurna, tapi tak ada ruhnya sebab segala bentuk pesan yang disampaikan bukanlah kegelisahan. Barangkali karena keterpaksaan, sehingga membuat ruhnya menjadi hilang. Bila sudah seperti itu, apa bedanya dengan manekin yang dipajang di toko-toko pakaian?
Naskah di dalam ranah teater tak berwujud lagi seperti kertas-kertas atau tulisan-tulisan yang konvensional seperti dalam karya sastra. Itu berbeda. Naskah apabila sudah diwujudkan dalam pementasan, bukanlah lagi sebuah kertas, namun berupa elemen-elemen panggung seperti yang disebutkan sebelumnya. Naskah yang ingin disampaikan aktor ialah melalui dialog, emosi, dan bahasa tubuhnya. Naskah yang ingin disampaikan setting ialah perwujudan ruang di atas panggung melalui properti-properti. Naskah yang ingin disampaikan music ialah bunyi-bunyi untuk menghadirkan suasana tertentu, atau barangkali bagian dari lirik dialog yang dinyanyikan. Naskah yang ingin disampaikan make up & costume ialah riasan dan kostum yang menyatukan aktor dengan karakternya. Naskah yang ingin disampaikan lighting berupa pencahayaan meliputi pengaturan bayangan dan penerangan di atas panggung. Semuanya bersinergi secara harmonis di atas panggung. Apabila harmonisasi di atas panggung tidak terbentuk, bisa jadi naskah yang sudah diupayakan untuk disampaikan tidak dapat dipahami.
Mungkin yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah, bagaimana naskah bisa menjadi pemersatu seluruh ide dan gagasan dari seluruh kru? Pada dasarnya, itu merupakan tugas dari sutradara. Namun, apabila seluruhnya diserahkan kepada sutradara, tidak dapat dipungkiri bahwa naskah ini menjadi miskin ide, wacana, konsep, serta teknis kepanggungan. Maka dari itu, perlu dilakukan langkah-langkah untuk melakukan eksplorasi terhadap naskah menjadi suatu bentuk pementasan. Langkah-langkah eksplorasi tersebut berupa pencarian ide, pengolahan ide, pematangan ide, dan eksekusi ide.
Langkah pertama ialah pencarian ide, dapat dilakukan dengan cara observasi atau membaca-baca literasi yang ada. Langkah ini bertujuan untuk memperkaya wacana-wacana kenaskahan atau juga langkah awal untuk menuliskan naskah. Amatilah segala hal yang berada di sekeliling, perhatikan apakah itu merupakan sesuatu yang menarik, dan ada makna apa yang bisa disampaikan ulang kepada penonton.
Langkah kedua ialah pengolahan ide. Setelah data didapat, kemudian diolah untuk memilah dan memilih mana yang ingin disampaikan kepada penonton. Barangkali dunia terlalu luas untuk dibahasakan, sehingga perlu adanya tema yang menjadi batasan serta fokus isu. Pada langkah ini, juga perlu diadakannya pembahasan mengenai konsep dari pementasan, yang tentunya berkorelasi dengan wacana atau naskah yang ingin disampaikan.
Langkah ketiga ialah pematangan ide. Langkah ini seperti mengkaji ulang isu yang ingin disampaikan, dapat dilakukan dengan merefleksikan naskah ke dalam diri. Bisa juga dengan melakukan eksplorasi terhadap ide-ide kepanggungan yang sudah ada, seperti pada teknis-teknis kepanggungan.
Langkah terakhir ialah eksekusi ide. Tentu saja ini berkaitan pada sesuatu yang tampak pada “permukaan” pementasan. Ini sudah lebih memfokuskan pada teknis pementasan juga improvisasi dari para tim panggung, yang tentunya tidak bertentangan dengan wacana dan konsep naskah. Teknis tersebut harus dibuat semenarik mungkin sehingga penonton tetap memperhatikan pementasan. Buatlah semacam kejutan-kejutan yang tak pernah terpikirkan oleh penonton.
Dengan melakukan langkah-langkah di atas, kita memahami bahwa naskah memiliki keterikatan dengan teks-teks di dalam kehidupan, baik saat ini maupun masa lalu. Itulah yang disebut intertekstual di dalam teks. Sebab, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah teks. Mungkin juga akhirat adalah teks. Sebagai pementas yang cerdas, sudah tentu harus mempelajari teks-teks tersebut dan keterkaitannya sehingga naskah yang disampaikan tidak menjadi omong kosong; sehingga pementas tak disebut sebagai tong kosong nyaring bunyinya: banyak omong tapi tak tahu maknanya.
Bila sebelumnya dijelaskan naskah menjadi pemersatu tim panggung, selanjutnya naskah juga menjadi pemersatu antara tim produksi dengan tim panggung. Tim produksi juga harus mengerti wacana yang ingin disampaikan dari tim panggung. Dengan begitu, tim produksi tahu target dan sasaran penonton. Isu ini disampaikan cocoknya kepada siapa? Tidak mungkin kan bila isu tentang seks dan gender yang secara teknis terlihat vulgar disampaikan kepada anak-anak? Bisa memicu kontroversial yang fatal.
Dengan mengetahui naskah atau wacana yang ingin disampaikan, tim produksi juga bisa membuat semacam trailer pementasan yang bisa menarik orang-orang untuk menonton pementasan. Kemudian ditampilkan di media sosial seperti instagram dan lain-lain. Selain trailer, juga ada pamplet yang didesain sesuai wacana, lalu disebarkan di tempat-tempat strategis. Orang-orang akan menerka-nerka desain tersebut, bertanya-tanya, apa maksudnya? Kemudian menonton pementasan.
Karena naskah ini juga pada dasarnya bersumber dari realitas, bisa jadi wacana yang disampaikan pementas juga dirasakan oleh penonton. Dengan begitu, tidak ada sekat antara pementas dan penonton yang membuat pementasan bisa menjadi lebih menarik dan wacana yang ingin disampaikan bisa diinterpretasikan oleh penonton. Itulah alasan naskah bisa disebut teks kolektif pementasan, menyatukan antara pementas (tim panggung dan tim produksi) dengan penonton. Meskipun kita pasti tahu, penonton punya subjektivitas dan latar belakang masing-masing yang tidak bisa digeneralisasikan.
Berdasarkan proses yang dijelaskan, pementas mesti mengerti bahwa teks-teks akan selalu mengalami kebaruan berdasarkan ruang dan waktu. Perubahan itu pasti. Jadi alangkah anehnya apabila pementas masih mementaskan naskah-naskah jadul tanpa mengalami pembaruan atau improvisasi. Bisa dikatakan, pementas itu “buta” karena tidak melihat relevansi naskah dengan kondisi saat ini.
Berteater memang harus bersikap radikal, termasuk mengerti tujuan berteater. Apakah hanya menyampaikan naskah kepada penonton? Kemudian pementas menjadi lupa terhadap yang disampaikan. Berteater itu mulia, bila pementas bisa menyadarkan penonton bahwa ada kejanggalan di sekilingnya untuk bersama-sama menuntaskan kejanggalan tersebut sampai ke akarnya, juga terus berbenah diri menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan begitu, naskah yang telah disampaikan tidak menjadi sia-sia.
Purwokerto, 16 s.d. 20 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar