NASKAH
LAKON STUPEN 2017
Apa Yang Sedang
Kamu Rindukan, Widuri?
Oleh:
Teater Teksas
KRU-KRU
PANGGUNG:
11.
Farhana
sebagai Tim Setting
22.
Almira
sebagai Tim Lighting
33.
Munandar
sebagai Tim Lighting
44.
Izza
sebagai Tim Mekos
55.
Rina sebagai
Tim Mekos
66.
Diana
sebagai Tim Musik
77.
Alvi
sebagai Bapak
88.
Nafa
sebagai Widuri
99.
Ai
sebagai Biru
110. Dara sebagai Astrada
111. Pasya sebagai Sutradara
KRU-KRU
PRODUKSI:
11.
Emseh
sebagai Divisi Humas
22.
Dian
sebagai Divisi Humas
33.
Kancil
sebagai Divisi Desain dan Dokumentasi
44.
Titin
sebagai Divisi Perlengkapan
55.
Gita
sebagai Divisi Konsumsi
66.
Pita
sebagai Divisi Konsumsi
77.
Combro
sebagai Sekretaris
88.
Mawa
sebagai Bendaraha
99.
Kibel
sebagai Pimpinan Produksi
Babak I
Adegan 1
BIRU DATANG DARI TEMPAT YANG TAK TERDUGA DENGAN KOSTUM
YANG SANGAT NYENTRIK. PENUH TANDA TANYA, IA MENYAMBUT PENONTON YANG HADIR.
MUSIK-MUSIK MEMERIAHKAN SEGALA TINDAK-TANDUKNYA. LAMPU MEMBUAT DIMENSI YANG
INTENS ANTARA PEMENTAS DAN PENONTON.
Biru : Selamat datang para penonton yang budiman! Bagaimana kabar
kalian semua? Apa baik-baik saja? (menunggu jawaban) Oh bagus, bagus. Bagaimana
kabar kawan-kawan kalian baik-baik saja? Oh, bagus, bagus. Keluarga? (menunggu
jawaban) Syukurlah...Silahkan bagi para penonton mencari tempat duduk yang
nyaman untuk menonton pementasan! Itu yang kosong diisi dulu! Kepala yang
kosong juga jangan lupa diisi. Hati yang kosong juga. (garing) Sudah? (pada
penonton) Sudah belum? Oke, baiklah!
Sudahkah Anda sekalian membaca buku hari ini? Kalau sudah, bagus. Kalau
belum, tidak masalah. Sebab menjadi pintar dan bodoh adalah pilihan. Saya
bukanlah tukang paksa dan tukang ancam. Tenang saja. Saya cuma orang gila yang
berusaha waras.
PENONTON BERTANYA-TANYA. MENERKA-NERKA.
Biru : Oh iya,Jangan lupakan tujuan
ilmu pengetahuan ya. Tetap semangat belajar
karena belajar adalah kebutuhan dasar manusia. Ilmu pengetahuan dan belajar sama-sama
untuk membentuk kebijaksaan kok. Bukan untuk melakukan penindasan.
PENONTON ADA YANG MERASAKAN GELISAH DAN BERTERIAK.
Penonton : Cepetanlah! Lama banget mulainya!
Udah nungguin dari tadi nih!
Biru : Sabar. Sabar. Tenang. Tenang.
Penonton : Gimana mau sabar? Orang dari tadi hak
saya menonton masih ditunda-tunda.
Biru : Wah... saya senang dengan
Saudara. Berani bicara memperjuangkan haknya. Kita beri tepuk tangan dulu!
(bertepuk tangan)
Penonton : Berhenti! Kenapa mesti tepuk tangan?
Kenapa kalian mau saja disuruh tepuk tangan? Saya cuma mau hak saya, yaitu
nonton. Titik.
Biru : Oh ya. Maaf. Maaf. Menonton
adalah salah satu hak anda. Terimakasih sudah membayar tiket juga, saudara.
MELODI DAN IRAMA MUSIK BERUBAH SEOLAH-OLAH MENJADI
SEMACAM SEBUAH OPENING PEMENTASAN. LAMPU PUN MULAI MEREDUP UNTUK MATI. TAPI
MENYALA TERANG KEMBALI, KARENA WIDURI MASUK PANGGUNG.
Widuri : Biru! Biru! Biru! (masuk
panggung) Rupanya kamu di sana, Biru!
Biru : Ada apa, Widuri? Mengapa
sampai teriak-teriak begitu?
Widuri : Aku kena masalah lagi, Biru.
Biru : Masalah apa?
Widuri : Masalah yang sangat besar, Biru.
Sangat besar.
Biru : Ya, masalah apa itu?
Widuri : Masalah ini sangat besar, Biru.
Sampai-sampai aku sendiri pun tak sanggup untuk menghadapinya seorang diri.
Biru : Masalah yang besar? Sesuatu
yang menjengkelkan?
Widuri : (berpikir) Hmm... Mungkin.
Biru : Kamu dimusuhi kawan-kawanmu?
Widuri : Alah! Itu sih bukan jadi persoalan.
Biru : Jangan-jangan...
Widuri : Kau jangan berpikir aneh-aneh,
Biru.
Biru : Apa salah jika aku berpikir
yang aneh-aneh?
Widuri : (menghela nafas) Tidak ada salahnya, Biru. (sinis) Sama sekali tidak ada yang salah.
WIDURI HANYA DIAM. AGAK MENJAUH. IA TAHU ITU HANYA
BUANG-BUANG WAKTU. BIRU HANYA MEMANDANGI SIKAP ANEH DARI WIDURI. CAHAYA
MEMAINKAN PERAN MEMBUAT EFEK YANG DRAMATIS. MUSIK MENGALUN MEMBERIKAN PERBEDAAN
EMOSI.
Widuri : Beri aku jalan keluar, Biru!
Berhentilah
mengoceh tentang komentar-komentar kosong.
Biru :
Bagaimana bisa aku memberimu jalan keluar tanpa tahu permasalahannya? Lucu kau,
Widuri!
Widuri :
Ah! Kau memang tak bisa diandalkan!
BIRU YANG KEBINGUNGAN PADA AKHIRNYA PUN BERTANYA KEPADA
PENONTON.
Biru : Apakah kamu membayangkan
sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu, Widuri?
Widuri : (hanya diam)
Biru : (berpikir) Mungkin kamu
sedang rindu, Widuri.
Widuri : (menurunkan sedikit bahunya)
Biru : (mendekat) Nah, kan. Benar.
Kamu sedang rindu.
Widuri : (menyunggingkan senyumnya,
tersipu malu)
Biru : Kamu sedang rindu. Widuri sedang rindu.
Apakah kamu sedang merindukan masa lalu?
Widuri : Biruuuuu! Untuk apa aku
merindukan masa lalu?
Biru : Lalu apa yang kamu rindukan,
Widuri? Kekasihmu?
Widuri : Basi, Biru. Kenapa dari tadi kamu
bicara seperti orang melantur?
Biru : Lho, aku tidak melantur.
Widuri : Kamu melantur Biru. Titik.
Biru : (menarik nafas panjang) Ya,
ya, ya. Sekarang kita kembali ke persoalan awal. Mengapa kamu datang ke sini,
Widuri?
Widuri : Aku ke sini karena sedang rindu,
Biru.
Biru : (berusaha berpikir dan
menerka) Apa yang kamu rindukan?
Widuri : (tertawa cengengesan) Seseorang.
Biru : Oh, seseorang. Hm... mengapa
kamu bisa merindukan orang ini?
Widuri : (malu-malu) Ya... begitulah Biru!
Aku tidak tahu sebabnya.
Biru : (menggebrak) Tidak tahu?!
Bahaya. Bahaya. Bahaya, bahaya, bahaya!
Widuri : Memangnya kenapa, Biru?
Biru : Bahaya!
Widuri : Kenapa?
Biru : Apakah kau merasa telah
kehilangan kesadaran?
Widuri : Ha?
Biru : Ah! Kau mulai kehilangan kewarasan,
Widuri....
Widuri : Hush! Sembarangan! Kamu jangan
cepat menarik kesimpulan, Biru! Itu salah sangka! Bila salah sangka, akan
timbul perpecahan nantinya. Kamu mau itu?
Biru : (hening sejenak) Tidak. Terus
kamu mau apa?
Widuri : Aku ingin meminta saran darimu.
Biru : Saran? Memang siapa aku? Juru
Selamatmu?
Widuri :
Ayolah, Biru!
Biru :
Ayo?
Widuri :
Bantu aku, Biru. Kumohon. Berilah aku sarannmu.
Biru :
(berpikir sejenak) Hmm baiklah. Aku akan membantumu. Tidak dengan saran, melainkan
dengan pertanyaan-pertanyaan.
Widuri : Pertanyaan apa?
Biru : Ya... Rindu seperti apa yang kamu inginkan?
Widuri : Rindu yang berbalas hangat.
Biru :
Kalau tak berbalas?
Widuri :
Bukan itu yang kuinginkan..
Biru : Terus?
Widuri :
Bukan itu yang kuinginkan.
Biru : Terus?
Widuri : Terus apa? Sudah kubilang bukan itu yang kuinginkan.
Biru : Huh! Sekarang coba kau yang bertanya.
Widuri :
Mengapa begitu?
Biru :
Karena aku tak suka kau jawab ketus begitu.
Widuri :
Kau marah padaku?
Biru :
Tidak.
Widuri :
Sungguh?
Biru :
Astaga, Widuri! Seriuslah sedikit.
Widuri :
Apa maksudmu dengan “seriuslah sedikit”?
Biru :
Astaga… Hentikan pertanyaan-pertanyaan bodohmu itu. Kau mau kubantu tidak?
Widuri : (tertawa kecil) Maafkan aku, Biru. Baiklah, aku akan
mencoba sedikit serius. Bagaimana caranya menghilangkan rindu?
Biru : Bertemu.
Widuri : Tak ada cara lain? Waktu liburan
masih panjang, dan pesanku tak pernah terkirim. Hidup di kampung memang susah
sinyal!
Biru : Apa tidak ada hal lain yang bisa
kamu lakukan selain merindukan seseorang yang kamu pun tak tahu apakah dia juga
merindukanmu? Kalau cuma kamu saja yang rindu, apakah itu berarti rindumu sudah pasti akan berbalas?
(mendekati Widuri) Widuri, dengar. Waktu terus-menerus berjalan. Kita tak bisa
memesan waktu. Kamu tak bisa memesan waktu lebih untuk persoalan rindu yang buta ini. Sebab
rindu macam ini takkan pernah ada jalan penyelesaiannya. Jangan sampai kamu
menyesal kemudian hari!
WIDURI MEMALINGKAN WAJAHNYA. PURA-PURA TIDAK MENDENGAR.
Widuri : Kamu bicara seperti orang tua
saja, Biru. (diam sejenak seolah memikirkan sesuatu) Seperti orang tua yang
menyesali masa lalunya.
Adegan 2
BIRU TIBA-TIBA MENGHILANG DARI PANGGUNG. TERDENGAR JUGA
SUARA DECIT PINTU TERBUKA. MUSIK MENGALUN MENANDAI MASUKNYA BAPAK. LAMPU
MEMAINKAN PERAN UNTUK MEMBUAT BAPAK MENJADI SEBUAH SILUET YANG MEMUNCULKAN
KESAN MISTERIUS.
BAPAK MASUK PANGGUNG DENGAN LANGKAH YANG PELAN-PELAN DAN
MISTERIUS. TAK ADA PEMBICARAAN SAMA SEKALI. LAMPU TERANG KEMBALI.
Widuri : (pada penonton) Ya, seperti orang tua yang menyesali masa
lalunya. (kemudian menengok pada ayahnya) Pak, apa saja yang telah Bapak
lakukan hari ini?
BAPAK YANG SEBELUMNYA
SEDANG MEMINUM, TIBA-TIBA MENGGEBRAK DENGAN GELAS. WIDURI TERKEJUT. MENCIPTAKAN
SUASANA TEGANG. KEMUDIAN BAPAK HANYA MELAMBAIKAN TANGANNYA MENYURUH WIDURI
UNTUK MENDEKAT.
MUSIK MEMAINKAN PERAN
UNTUK MENCIPTAKAN SUASANA YANG HENING SEKALIGUS MENDEBARKAN. KIRA-KIRA APA YANG
INGIN DILAKUKAN BAPAK? WIDURI PUN MENDEKAT DENGAN PENUH KERAGUAN DAN KETAKUTAN.
LAMPU SEAKAN MEREDUP DAN FOKUS UNTUK MENDUKUNG KEINTIMAN DI ADEGAN SELANJUTNYA.
KEMUDIAN KETIKA WIDURI
SUDAH MENDEKAT, DIELUS-ELUSNYA RAMBUT WIDURI. PERLAHAN-LAHAN. MUSIK TIBA-TIBA
BERUBAH JUGA MENYIRATKAN KEHANGATAN. WIDURI PUN MERASAKAN KEANEHAN YANG CUKUP
NYAMAN. IA MEMEJAMKAN MATANYA UNTUK MERASAKAN LEBIH KEANEHAN INI.
BAPAK JUGA
MENGELUS-ELUSKAN PIPINYA WIDURI DENGAN TANGAN KANANNYA. AH! MOMEN INTIM SEBUAH
KELUARGA KECIL. TAPI TERLIHAT JUGA BAHWA JARI-JARI TANGAN KIRI BAPAK
BERGERAK-GERAK. KEMUDIAN TANGAN KIRINYA MENGEPAL. JARI-JARINYA DIGERAKKAN LAGI.
SEPERTI SEDANG MERASA GATAL.
KEMUDIAN DENGAN JELAS
BAPAK MENAMPAR WIDURI. BILA PERLU, ADEGAN INI DIBERIKAN EFEK SLOW MOTION DENGAN
DIDUKUNG LAMPU DENGAN MEMBERIKAN EFEK KHUSUS UNTUK MEMINIMALISASI EFEK SAKIT
YANG DIBERIKAN. SETELAH ADEGAN MENAMPAR ITU, LAMPU KEMBALI MENERANG. WIDURI
TERPENTAL SEDIKIT. IA MARAH!
Widuri : (terkejut, tak menyangka apa yang barusan terjadi, dan
langsung melengos pergi)
WIDURI KELUAR PANGGUNG. BAPAK HANYA MENATAP KE ARAH WIDURI PERGI. LALU IA MINUM LAGI. LAMPU
PERLAHAN REDUP DAN MATI.
BABAK II
Adegan 1
MUSIK ANTARBABAK
MASIH BERMAIN, SEKALIGUS MENGIRINGI UNTUK MEMBUKA ADEGAN SELANJUTNYA. KEMUDIAN
LAMPU MENERANG MEMBERIKAN FOKUS PADA WIDURI YANG SEDANG DUDUK. WIDURI BERGANTI
KOSTUM UNTUK MENANDAKAN PERGANTIAN WAKTU. WAJAHNYA MERAH MENYALA.
Widuri : Ya, itulah bapak saya. Ia datang
kemudian tiba-tiba menampar saya. Bajingan memang! (bangkit dan berjalan menuju
penonton) Bagaimana menurut kalian para penonton? Bapak saya jahat, kan? Bapak
saya kasar, kan?
WIDURI BERUSAHA BERDIALOG DENGAN PENONTON. LAMPU
MENGIKUTI PERGERAKANNYA.
Widuri : Bagaimana menurut mas? Bapak saya
kasar, kan? Kalau menurut mbak? Semuanya sepakat kan kalau bapak saya itu
kasar? Yah begitulah mbak, laki-laki. Maunya menang sendiri. Sampai sudah cerai
dengan ibu saya pun, ia malah masih menyalahkan ibu saya juga karena
kelakuannya. Aneh, kan? Di rumah pun, kalau bukan karena menunggu ibu saya
datang suatu saat nanti, tidak pernah saya mau tinggal di rumah itu. Tapi saya
juga tidak tahu kapan ibu saya akan datang. Ia tak bisa dihubungi sama sekali.
Terakhir kali ia bilang sebelum meninggalkan rumah, bahwa ia akan datang suatu
saat nanti ketika ia sudah bisa meludahi muka bapak. (murung) Ya, hanya itu
pesannya. Entahlah kapan ibu akan datang.
BIRU MUNCUL DENGAN TAK TERDUGA-DUGA MENGGUNAKAN KOSTUM
YANG LAIN, YANG TAK KALAH NYENTRIK. MENGAGETKAN WIDURI.
Biru : Widuri! Apa yang kamu lakukan
di sini?
WIDURI BERGEGAS KEMBALI BERMAIN PERAN DI ATAS PANGGUNG.
BIRU JUGA IKUT BERMAIN PERAN DI ATAS PANGGUNG.
Biru : Widuri, apa yang kamu lakukan
tadi?
Widuri : (pura-pura) Hah? Melakukan apa?
Aku tidak melakukan apa-apa.
Biru : (mengerti kepura-puraan
Widuri) Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan, Widuri?
WIDURI KESAL DAN TAK KUNJUNG MENJAWAB. BIRU MENDEKATINYA.
Biru : (lemah-lembut) Apa yang
sedang kamu pikirkan, Widuri? Ceritakan saja padaku....
Widuri : (nada sebal) Bapak.
Biru : Ada apa dengan bapakmu?
Widuri : Bapak bertingkah kasar lagi. Bajingan
memang!
Biru : Tidak boleh begitu, Widuri.
Widuri : Ya jelas-jelas dia menamparku,
Widuri. Tiba-tiba! Bagaimana aku tidak marah? Tiba-tiba, Biru! Dan tanpa alasan
yang jelas.
Biru : (berpikir) Hmm... Coba
ceritakan padaku kronologinya. Barangkali itu hanya perasaanmu saja. Aku tidak mau
menarik kesimpulan atas kesimpulan orang lain.
WIDURI SEDIKIT KESAL DAN SEBAL KARENA RESPON BIRU YANG
TIDAK PERCAYA ATAS PERKATAANNYA. IA MENGHELA NAFAS PANJANG.
Widuri : (sambil memperagakan) Ok!
Pertama-tama Bapak datang masuk. Lalu ia langsung mengambil air minum. Ketika
aku tanya, bapak ngapain aja hari ini, tiba-tiba ia menggebrak gelasnya.
Bunyinya keras sekali, Biru. Aku kaget. Airnya tumpah juga di lantai. Kemudian
tangannya melambai menyuruhku untuk mendekat. Dengan hati-hati dan penuh
curiga, aku mendekatinya. Tahu apa yang ia lakukan selanjutnya?
Biru : (penasaran) Apa?
Widuri : (melakukan aba-aba, penuh
emosional) Ia menamparku dengan keras. Sangat keras. Plakkkk! Pipiku jadi merah.
Sampai-sampai aku terpelanting dan tersungkur di lantai, Widuri. Itu
menyakitkan.
Biru : (mencerna) Kamu sudah tanya
kenapa bapakmu melakukannya?
Widuri : Sudah. Bahkan aku sampai sedikit
meringis menahan air mata, Widuri.
Biru : Apa jawabannya?
Widuri : Tidak ada! Dia diam saja! Dia
hanya menatapku tersungkur di bawah seolah-olah menganggap aku ini adalah
makhluk yang hina dan rendahan! Aku tak mau terus-terusan ditatap seperti itu.
Jadi aku bangkit dan keluar untuk menangis di tempat yang lain. Ketika aku
keluar, bapak pun teriak-teriak tidak jelas. Sekarang kamu juga percaya kan
kalau bapak adalah orang yang kasar dan perbuatannya salah?
Biru : Hm... apa benar begitu
kejadiannya?
Widuri : Ya ampun Biru... Kamu tidak
percaya padaku? Apa lagi yang kurang jelas? Apa perlu aku jelaskan ulang
kronologinya?
Biru : Itu agak berlebihan, Widuri..
Widuri : Ya memang begitu nyatanya
Biru : Ah, aku masih belum bisa mengambil kesimpulan.
Soalnya bapakmu masih belum menjelaskan alasannya menamparmu. Mungkin nanti ia
akan menjelaskannya.
Widuri : Biru! Kamu lambat. Kamu bodoh.
Mana mungkin laki-laki itu akan menjelaskannya. Soalnya dia selalu ingin menang
sendiri.
Biru : Widuri! Kamu jangan melihat
persoalan dari sudut pandangmu saja. Kamu juga mesti mengerti dari sudut
pandang bapakmu.
Widuri : Tapi aku sudah terlanjur sakit
hati, Biru. Kamu tahu rasanya sakit hati? Itu sangat menyakitkan...
Biru : Ya, aku paham itu. Aku paham.
Tapi perubahan menuju lebih baik tidak akan timbul dari sakit hati yang
terus-menerus. Itu sama saja menyiksamu.
Widuri : Kenapa kamu tidak langsung saja
bertanya pada bapak? Kenapa kamu tidak menasihati bapak saja?
Biru : Kenapa tidak kamu saja?
Widuri : Kenapa harus aku?
Biru : Karena kamu yang
merasakannya.
WIDURI SEBAL. KEMUDIAN SEOLAH-OLAH MERASA KEHILANGAN
MOTIVASI HIDUP.
Biru : Widuri, masalah yang
didiamkan seperti ini tidak akan pernah selesai sampai kapan pun juga. Egomu
bukan solusi yang kongkrit terhadap permasalahan ini.
Widuri : Terserah kamu saja, Biru.
Biru : Kenapa kamu menjadi bebal
untuk menerima kritik dan saran dariku, Widuri? Bapakmu manusia. Kamu juga
manusia. Kenapa kamu merasa bahwa kamu yang paling benar?
Widuri : Soalnya aku yang merasakan
sakitnya ditindas, Biru. Laki-laki itu seolah menjelma menjadi penguasa di
rumah ini!
Biru : Ya tinggal lawan saja,
Widuri! Jika kamu merasa ada sesuatu yang tidak beres, perbaikilah! Jangan
hanya menerima mentah-mentah, mengumpat, dan masa bodoh dengan solusi!
Widuri : Kamu salah menasihati orang,
Biru. Lebih baik kamu nasihati saja laki-laki itu.
Biru : Kamu juga mesti berpikir,
Widuri.
Widuri : (tidak peduli) Terserah! (sambil
melengos pergi)
Adegan 2
TAK DISANGKA, BAPAKNYA MUNCUL. WIDURI MENJADI KAKU DAN
MENUNDUK SEKETIKA. IA TAK INGIN MELIHAT WAJAH LAKI-LAKI ITU. DI SATU SISI, BIRU
JUGA MENGHILANG ENTAH KE MANA. LALU, BAPAKNYA KEMBALI MEMINUM AIR.
DENGAN LANGKAH YANG PERLAHAN-LAHAN, WIDURI BERUSAHA UNTUK
KELUAR. TAPI BAPAKNYA SECARA MENGEJUTKAN MEMANGGILNYA. SUARANYA SANGAT BERAT.
Bapak : Widuri.
WIDURI KAGET.
Bapak : Kemana kamu?
WIDURI TAK KUNJUNG MENJAWAB DAN MEMATUNG. SEMENTARA ITU,
BAPAK MENDEKATINYA.
Bapak : Apa yang telah kamu lakukan hari
ini?
Widuri : Setidaknya sesuatu yang lebih
bermanfaat.
Bapak : Apa itu?
Widuri : Belajar.
SUASANA MENJADI MENGHANGAT DENGAN SEDIKIT TAWA YANG AGAK
DIPAKSAKAN DARI BAPAK. KEHANGATAN YANG ANEH DAN DIBUAT-BUAT.
Bapak : Bagus, bagus. (kemudian duduk di
sebuah kursi) Ke sinilah, Widuri. Bapak bawa makanan.
Widuri : Tidak mau. Aku ingin keluar.
Bapak : Mau ke mana?
Widuri : Jalan-jalan.
WIDURI KELUAR PANGGUNG. BAPAK SEORANG DIRI DI SANA.
BETAPA SEDIHNYA IA TAK BISA MENGAJAK ANAKNYA UNTUK MENGOBROL.
LAMPU HANYA MENYOROT PADANYA. BEGITU INTENS. MUSIK JUGA
MENGALUN MENYIRATKAN KESEDIHAN. IA HANYA MEMAINKAN BIBIRNYA DI SANA. MENAHAN
KESEDIHAN. TAK ADA KATA YANG KELUAR SAMA SEKALI. HANYA HENING. IA MENGUNYAH
JUGA DENGAN TAK BERSELERA.
MATANYA SEOLAH MENERAWANG SANGAT JAUH. MATANYA BERISI DAN
PADAT. MATA ITU BERBICARA DAN TERTERKA SUATU KESEDIHAN YANG JELAS. ADA APA
MEMANG DENGANNYA?
TAPI TAK LAMA BERSELANG, WIDURI KEMBALI MASUK PANGGUNG.
ADA APA GERANGAN? BAPAK MELEPAS PENERAWANGAN DAN KESEDIHANNYA SEKETIKA.
WIDURI TIBA-TIBA IKUT DUDUK, TAPI AGAK BERJAUHAN DENGAN
BAPAKNYA. IA MENJAGA JARAK. TAPI IA JUGA IKUT MEMAKAN MAKANAN YANG DIBAWA
BAPAKNYA. SIKAPNYA AGAK ANEH SEOLAH MENYEMBUNYIKAN SESUATU, SEMACAM TANPA
EMOSI, JUGA TANDA TANYA BESAR. APA YANG SEBENARNYA SEDANG WIDURI PIKIRKAN?
BAPAK PUN MEMULAI OBROLAN. TERASA KAKU.
Bapak : Cepat sekali jalan-jalannya.
Widuri : (masih tak juga menatap bapaknya)
Ya. Tidak ada yang menarik.
Bapak : Oh... (hening agak lama, mencari
bahan obrolan) Bagaimana perantauanmu?
Widuri : (datar) Lancar.
Bapak : Lancar?
Widuri : Lancar.
Bapak : Lancarnya?
Widuri : Aku punya banyak teman. Aku dapat
uang.
OBROLAN ITU PUN TAMPAK PATAH-PATAH. SEPERTI UPAYA
BASA-BASI. WIDURI HANYA DATAR MENJAWABNYA.
Bapak : Kawan-kawanmu bagaimana?
Widuri : Baik-baik.
Bapak : Tempat perantauanmu?
Widuri : Bagus.
Bapak : Apa tidak ada masalah saat kamu
merantau?
Widuri : Tidak.
Bapak : Yakin?
Widuri : Semuanya baik-baik saja.
Bapak : Kamu tidak bohong?
Widuri : Tidak.
Bapak : Serius?
Widuri : Jelaslah! (berdiri) Aku kan orang
yang pintar. Tidak seperti bapak. (beranjak pergi)
KETIKA BERJALAN BEBERAPA LANGKAH, BAPAKNYA PUN MEMANGGIL
WIDURI DENGAN NADA YANG BERBEDA. SUASANA BERGANTI SECARA DRASTIS. DAN SECARA
MENGEJUTKAN PUN, MAKANAN ITU DILEMPAR KE ARAH WIDURI. MENGENAI BELAKANG
KEPALANYA. MAKANAN ITU BERSERAKAN DI LANTAI. SEMENTARA BAPAK MENAHAN AMARAHNYA.
IA MEMANG ORANG YANG KASAR.
Bapak : (meluap-meluap) Kamu malah lebih
bodoh dari seekor anjing, Widuri! (dadanya kembang-kempis menahan amarah)
Percuma merantau!
Widuri : (berbalik, menyerang) Aku tidak
terima, Pak! (mendekat, memojokkan) Aku tidak terima bapak bilang aku bodoh.
Bapak : (berusaha melawan balik)
Nyatanya kamu memang bodoh.
Widuri : (memberanikan diri menyerang) Jelas-jelas
yang selama ini bodoh adalah bapak! Sudah diceraikan oleh ibu, pekerjaan
serabutan, tidak dipandang sebagai orang terhormat di kampung ini, dan telah
gagal mendidik anaknya sendiri! Kurang apa lagi kebodohan bapak!
Bapak : (terpojok, menelan ludah) Kamu
mengolok-olok kebodohan bapak. (hening sejenak) Dan itu bukan ciri-ciri orang
pintar.
BAPAK MELANGKAH MENJAUH. WIDURI HANYA TERDIAM. MENAHAN
AMARAH.
Bapak : (berhenti sejenak) Lagipula
untuk apa punya ilmu tinggi kalau kebijaksanaan kamu khianati? Lebih baik kamu
keluar sana dan cari saja ibumu yang entah ke mana.
BAPAK KELUAR. KEMUDIAN BIRU MASUK DENGAN TIBA-TIBA.
TERGIRANG-GIRANG.
Biru : Halo. Halo. Halo. Bapak kok
marah-marah sendiri? Ada apa dengannya?
Widuri : Kenapa kamu selalu datang di saat-saat
seperti ini, Biru?
Biru : Karena aku memang begini.
Siapakah dari kita yang benar-benar sadar dan memegang kendali?
Widuri : Diam, Biru.
Biru : (tertawa) Mana bisa aku diam
ketika melihat ada hal yang tak beres di sekitarku, Widuri.
Widuri : Biru, kapan mamah akan datang ke
rumah ini dan meludahi muka bapak?
Biru : Widuri, Widuri, Widuri!
Tampaknya kamu sedang menahan amarah. Marilah kita jalan-jalan ke luar dulu.
Cari angin segar. Biar aku temani.
Widuri : Aku ingin mencari, Mama. Tapi aku
tidak pernah tahu dia ke mana. Seseorang yang aku rindui.
Biru : Ya. Tapi kita keluar dulu
untuk menyegarkan pikiran.
MEREKA BERJALAN KELUAR.
Widuri : Tapi aku yakin mamah akan datang
besok.
PANGGUNG
MENGGELAP.
BABAK III
Adegan 1
PERJALANAN MENEMBUS REALITA. MENEMBUS IMAJINASI. MENEMBUS
SEGALA-GALANYA. ADEGAN INI DIDUKUNG DENGAN LAMPU DAN MUSIK YANG MEMBERIKAN EFEK
SPESIAL.
WIDURI DAN BIRU MENEMBUS GARIS PENONTON. BERMAIN-MAIN DI
DALAMNYA. BERJALAN-JALAN.
Biru : Sekarang lepaskan saja semua
pikiran-pikiranmu, Widuri. Aku adalah kamu. Kamu adalah aku. Kita adalah wujud
kesadaran yang berperan dalam realita dan imajinasi. Sekarang apa yang kamu
lihat di sana? (menunjuk arah yang jauh)
Widuri : Bukan sesuatu yang menarik,
Widuri. Hanya seorang perempuan muda yang sedang menyusui anaknya di hadapan
para laki-laki yang sedang merokok.
Biru : Apakah kamu masih ingin
melihatnya?
Widuri : Tidaklah, Widuri! Itu bukan hal
yang menarik!
Biru : Lalu apa yang kamu lihat di
sana? (menunjuk arah yang lain)
Widuri : Segerombolan manusia yang sedang
tersesat mencari jalan hidupnya, sampai mereka bercita-cita ingin menjadi
binatang saja.
Biru : Apakah itu hal yang menarik?
Widuri : Tidak.
Biru : Kalau di sana! Apa yang kamu
lihat?
Widuri : Mayat-mayat yang mengambang di
sungai dan mengalir mengikuti arus.
Biru : Bagaimana menurutmu?
Widuri : Membosankan melihat realita yang
seperti itu melulu. Kenapa kamu seakan memaksaku untuk melihat realita di sana,
di sana, dan di sana?
Biru : Kalau yang kamu lihat di sini?
(menunjuk kepalanya)
Widuri : Tak ada realita di sini. Yang ada
hanyalah imajinasi.
Biru : Imajinasi?! Wow! Apa yang
kamu imajinasikan?
Widuri : Imajinasi kecil tentang ibu yang
hadir untuk meludahi muka bapak.
WIDURI KEMBALI KE PANGGUNG. MEMPERAGAKAN YANG IA
IMAJINASIKAN DENGAN SANGAT BERSEMANGAT.
Widuri : Imajinasi, Biru! Yeah! Ibu akan
datang dari pintu depan. Menjadi gagah sebagai seorang perempuan. Bapak akan
bertekuk lutut. Menjadi hina sebagai seorang laki-laki. Memang harus seperti
itu! Aku muak dengan kekuasaan bapak di rumah ini.
Biru : Terlalu imajinatif.
Widuri : Tak ada yang lebih indah selain
berimajinasi, Biru! Dan mengapa aku baru tersadar bahwa bapak harus
diperlakukan sehina-hinanya? Argh, Biru! Aku tak mau menjadi bagian realita itu
melulu. Aku tak mau menjadi perempuan yang menyusui anaknya di hadapan para
laki-laki yang sedang merokok. Aku tak mau menjadi bagian dari segerombolan
manusia yang kebingungan dan memilih menjadi binatang. Aku tak mau menjadi
mayat yang mengambang di sungai dan hanya pasrah mengikuti arus. Itu semua
wujud ketidakberdayaan! Aku tidak mau menjadi tidak berdaya. Biru, aku tidak
mau menjadi tidak berdaya di hadapan kekuasaan!
Biru : Imajinasi hanyalah imajinasi,
Widuri.
Widuri : (bernafsu) Aku ingin mewujudkan
imajinasi itu, Biru! Aku ingin mengubah realita dan keadaan hidupku saat ini.
Perantauanku yang lalu hanyalah cara untuk kabur. Tapi gagal karena bapak
berhasil menarikku kembali. Aku harus melawan, Biru!
Biru : Kamu akan melawan kekuasaan
yang besar dengan kemampuanmu yang sebatas ini? Kamu mau bunuh diri, Widuri?
Widuri : Jangan memprovokasiku untuk
terus-menerus dalam penjajahan bapak, Biru!
BIRU TIBA-TIBA KELUAR PANGGUNG PERGI TANPA KATA-KATA.
WIDURI TERDIAM SEJENAK MELIHAT KEPERGIAN BIRU. BERPIKIR DAN MENIMBANG-NIMBANG
KEJADIAN TERSEBUT. KEMUDIAN IA MENGEJAR BIRU PADA AKHIRNYA.
Widuri : Biru, tunggu...
PANGGUNG MENGGELAP.
BABAK IV
Adegan 1
MUSIK MENGALUN DENGAN MENEGANGKAN. LAMPU BERFOKUS PADA
TITIK TEMPAT WIDURI DAN BIRU DUDUK SALING MEMBELAKANGI. BIRU SEDANG MENGHADAP
KE ARAH PENONTON. SEMENTARA WIDURI BERSANDAR DI BELAKANG PUNGGUNG BIRU.
Biru : Penonton, jika kalian
diberikan kesempatan untuk membunuh seseorang tanpa rasa berdosa, bagaimana
cara kalian membunuh orang itu?
PENONTON MENJAWAB BERAGAM. BIRU MENIMBANG-NIMBANG JAWABAN
MEREKA.
Biru : Ditusuk? Hm... terlalu biasa.
Tak ada jawaban lain?
PENONTON MENJAWAB BERAGAM LAINNYA. BIRU MENIMBANG-NIMBANG
JAWABAN MASING-MASING.
Biru : Dihilangkan batang hidungnya
supaya tak sanggup bernapas? Hm... lumayan. Tapi aku rasa masih kurang cukup
kontroversial. Dipotong-potong dan dijadikan lauk-pauk? Hm... menarik. Cukup
kontroversial dan bisa menjadi berita nasional sehingga ibunya Widuri akan
datang ke sini. Tapi ia tak bisa meludahi muka mantan suaminya itu. (merespon
jawaban penonton) Kepalanya disimpan dulu? Oh, ya. Bagus, bagus.
WIDURI DAN BIRU SALING BERBALIK BADAN. LAMPU BERGANTI
WARNA. KINI, GILIRAN WIDURI YANG MENGHADAP PENONTON.
Widuri : Aku telah membunuh bapak dengan
cara yang brilian! Aku telah mencukur kumis dan jenggotnya, sampai mengupas
kulitnya. Sampai mati! (tersenyum jahat, berusaha untuk tertawa)
TIBA-TIBA LAKI-LAKI MISTERIUS MASUK. ITU ADALAH BAPAK.
LANGKAHNYA MISTERIUS. LAMPU MENYOROT MEMBUAT SILUET DIRINYA. LAKI-LAKI ITU
TERUS MELANGKAH HINGGA LAMPU YANG MENYINARINYA PUN MATI. WIDURI KESAL TERNYATA
IA GAGAL MEMBUNUH BAPAK.
POSISI DUDUK WIDURI DAN BIRU PUN BERUBAH. LAMPU YANG
MENYOROTI MEREKA PUN BERUBAH WARNA.
Biru : Bapak belum mati! Jika cara
yang tadi dijelaskan tidak berhasil membunuh bapak, apa tak ada cara membunuh
yang lain? Bagaimana penonton? (hening) Bagaimana? Kalau bapak tak dibunuh,
konflik ini tak akan pernah selesai.
BIRU MENANGGAPI JAWABAN-JAWABAN PENONTON.
Biru : Ya, mungkin kita bisa mencoba
cara seperti untuk membunuh bapak.
POSISI DUDUK MEREKA BERUBAH. WARNA LAMPU JUGA BERUBAH.
Widuri : Aku telah membunuh bapak dengan
cara yang telah kalian sampaikan tadi. (tersenyum sangat senang) Sekarang aku
hanya tinggal menunggu ibu ke sini untuk bisa meludahi muka bapak berkali-kali
yang ia mau. Yah, dan aku akan bisa melihat senyum ibu lagi.
LAKI-LAKI ITU DATANG LAGI. BAPAK DATANG LAGI. DENGAN CARA
YANG SAMA. DENGAN LAMPU YANG SAMA. SEGALANYA TERLIHAT SAMA PERSIS SEPERTI
SEBELUMNYA. WIDURI TAMBAH KESAL KARENA GAGAL LAGI UNTUK MEMBUNUH BAPAKNYA.
POSISI DUDUK MEREKA BERUBAH LAGI. WARNA LAMPU BERUBAH
LAGI.
Biru : Apakah bapak abadi? Apakah
bapak punya kekuasaan untuk abadi? Apakah kekuasaan bapak abadi?
Widuri : Tidak boleh!
POSISI DUDUK MEREKA BERUBAH LAGI. WARNA LAMPU BERUBAH
LAGI.
Widuri : Bapak tidak boleh abadi! Bapak
tidak akan abadi karena kali ini aku yakin bahwa aku telah membunuh bapak!
Berkali-kali! Aku membunuh bapak dengan cara yang Tuhan pun sampai-sampai tidak
pernah terpikirkan! Bapak telah mati dan ibu akan datang meludahi mukanya.
TIBA-TIBA BAPAK DATANG LAGI. DENGAN CARA YANG SAMA PERSIS
SEPERTI SEBELUMNYA. MUSIK DAN LAMPU MENDUKUNG SUASANA. WIDURI SANGAT TERKEJUT.
KEMUDIAN MATANYA KOSONG MENERAWANG. IA HANYA DIAM.
LAMPU PERLAHAN MENERANGI PANGGUNG. LAMPU PAR YANG
MENYOROT WIDURI DAN BIRU MASIH MENYALA TERANG. MEMBERIKAN DIMENSI YANG BERBEDA.
BAPAK SEDANG MINUM DI POJOK RUANGAN.
Biru : Pak, apa saja yang telah
Bapak lakukan hari ini?
BAPAK YANG SEBELUMNYA SEDANG MEMINUM, TIBA-TIBA
MENGGEBRAK DENGAN GELAS. WIDURI TERKEJUT. MENCIPTAKAN SUASANA TEGANG. KEMUDIAN
BAPAK HANYA MELAMBAIKAN TANGANNYA MENYURUH WIDURI UNTUK MENDEKAT.
MUSIK MEMAINKAN PERAN UNTUK MENCIPTAKAN SUASANA YANG
HENING SEKALIGUS MENDEBARKAN. KIRA-KIRA APA YANG INGIN DILAKUKAN BAPAK? BIRU
PUN MENDEKAT DENGAN PENUH KERAGUAN DAN KETAKUTAN. LAMPU SEAKAN MEREDUP DAN
FOKUS UNTUK MENDUKUNG KEINTIMAN DI ADEGAN SELANJUTNYA.
WIDURI MASIH DIAM DI TEMPAT. DALAM FOKUS LAMPU PAR YANG
MENYOROTINYA, IA MASIH MENATAP PENONTON.
KEMUDIAN KETIKA BIRU
SUDAH MENDEKAT, DIELUS-ELUSNYA RAMBUT WIDURI. PERLAHAN-LAHAN. MUSIK TIBA-TIBA
BERUBAH JUGA MENYIRATKAN KEHANGATAN. WIDURI PUN MERASAKAN KEANEHAN YANG CUKUP
NYAMAN. IA MEMEJAMKAN MATANYA UNTUK MERASAKAN LEBIH KEANEHAN INI.
BAPAK JUGA MENGELUS-ELUSKAN PIPINYA WIDURI DENGAN TANGAN
KANANNYA. AH! MOMEN INTIM SEBUAH KELUARGA KECIL. TAPI TERLIHAT JUGA BAHWA
JARI-JARI TANGAN KIRI BAPAK BERGERAK-GERAK. KEMUDIAN TANGAN KIRINYA MENGEPAL.
JARI-JARINYA DIGERAKKAN LAGI. SEPERTI SEDANG MERASA GATAL.
Widuri : (mulai menitikkan airmata)
KEMUDIAN DENGAN JELAS BAPAK MENAMPAR WIDURI.
BLACK-OUT.
Selesai
Purwokerto, 31
Mei 2018.
Diadaptasi
dari naskah “Markah Abrasi” karya Angkatan 2017 Teater Teksas
Komentar
Posting Komentar