Oleh
: Syarifudin Emseh
Tulisan ini semacam diilhami oleh
pengalaman menonton pementasan teater kampus Purwokerto selama dua tahun
terakhir. Mungkin
ini semacam kegelisahan saya pribadi sebagai penonton setia
teater. Dan
karena tulisan ini didasari semata-mata hanya oleh “perasaan” dan pengalaman
pribadi, maka sangsikanlah keilmiahannya. Katakanlah, ini semacam
“curhat”. Tetapi toh, saya merasa berhak untuk mengungkapkannya.
Terlebih, ketika dalam forum diskusi
pascapentas, saya melihat tidak ada semacam kritik atau apresiasi
yang senyata-nyatanya, dan bukan berwujud kalimat “saya mengapresiasi
pementasan ini” kemudian mengajukan beberapa pertanyaan (yang sebagian tidak
perlu ditanyakan). Mungkin saja, ada semacam “dinding gaib” atau apalah
sebutannya. Mungkin juga hal itu dilakukan “di belakang” tanpa sepengetahuan
saya. Tapi karena hal itu, saya jadi bertanya-tanya: “sejauh mana pegiat teater kampus
Purwokerto memahami
kritik teater dan sejenisnya?”
Oh, ya, saya lupa satu hal: Salam
Budaya!
Kembali lagi ke pembicaraan. Pertanyaan
barusan alangkah baiknya direfleksikan, sebab saya pun tidak ingin terlalu men-judge
atau membahasnya. Namun, kiranya dapat dijadikan catatan masing-masing
personal. Sebab barangkali, karena itu pula, saya melihat pementasan-pementasan
teater kampus Purwokerto seperti “berjalan di tempat” dari segi konsep dan
bentuk. Karena sepanjang saya menonton pementasan, ada semacam perasaan yang
berkata bahwa pementasannya “sama/mirip” seperti pementasan sebelumnya. Bisa
dikatakan sebagai corak/ciri suatu komunitas teater.
Apakah
ini adalah hal baik atau hal buruk, itu saya dikembalikan pada pemaknaan
masing-masing individu. Tapi, di satu sisi, saya berusaha memaknai ini sebagai
sebuah “kemacetan”; berjalan di tempat. Sebab seakan-akan pementasan teater
hanya berkutat di situ-situ saja, tanpa membuka kemungkinan yang baru, yang
bisa saja lebih menarik dan segar. Bukankah kebaruan itu terlihat sangat
menggiurkan? Samakan saja seperti membeli hape baru yang makin canggih
sistemnya.
Saya
pribadi memaklumi “kenyataan” demikian, karena itu semua sepenuhnya diserahkan
kepada tiap-tiap komunitas teater yang memiliki identitas (latar belakang,
ideologi, tujuan, dan lain-lain) yang berbeda-beda dalam berteater. Akan
tetapi, izinkan saya mengajukanpertanyaan: “bukankah pementasan teater itu
hadir untuk dipertontonkan kepada khalayak umum?”
Khalayak
umum pun juga memiliki identitas yang berbeda-beda dalam menonton teater. Apakah
hal itu juga diperhitungkan oleh kalangan teater yang hendak melakukan
pementasan? Ataukah pementasan teater hanya untuk anak-anak teater (dan
kawan-kawan dekatnya)? Dua pertanyaan barusan diserahkan kembali kepada
tiap-tiap komunitas teater (khususnya tim produksi) yang memang sudah jauh-jauh
hari mempersiapkan pementasan. Tapi, yang perlu dijadikan catatan, apakah yang
menjadi tawaran menarik dari pementasan yang telah dipersiapkan?
Sehingga, orang-orang tidak “kapok” untuk menjadi “penonton teater” di
pementasan selanjutnya (baik dari komunitas yang sama maupun yang berbeda).
Apabila
ingin dilanjutkan “untuk siapa teater itu dipertontonkan?”, sejujurnya saya
berharap tidak ada batasan di sini. Teater berhak untuk siapa saja.
Persoalannya, sejauh mana publikasi pementasan teater itu di kalangan
masyarakat/umum? Sebab saya melihat pementasan teater seperti kalah pamor
dengan konser musik (indie, pop, dangdut) atau festival film. Apakah yang
membuat itu terjadi? Apakah teater sudah terlihat kuno? Apakah karena “teater”
tidak ingin membuka dirinya? Ataukah karena teater itu tidak menarik lagi?
Kalau iya, apa yang membuat itu terjadi? Apa karena teater hanya begitu-begitu
saja? Apakah teater tampak kaku? Apakah teater ngebosenin? Apakah,
apakah, apakah ....
Sekian
banyak pertanyaan bakal terlintas, tapi kalau boleh saya ucapkan (berdasarkan
ucapan kawan-kawan teater juga), itu semua (lagi-lagi) tergantung bagaimana
tiap komunitas memaknai “teater”itu sendiri. Namun, setelah saya pikir-ulang,
ternyata tidak sebatas itu saja.Seluruh pertanyaan itu merujuk kepada satu hal:
daya-tarik. Apa yang menjadi daya-tarik pementasan teater? Menurut saya, daya-tarik
pementasan teater terletak pada korelasi serta keutuhan antara wacana-konsep-teknis.
Minimal-minimal, antara wacana, konsep, atau teknis.
Memangnya,
wacana itu apa? Konsep itu apa? Teknis itu apa? Jujur, saya pribadi tidak bisa
menjelaskan lebih detail dan gamblang. Harapannya, pengertian ini bisa dicari
sendiri, merujuk pada pengertian para kritikus teater atau pegiat teater
profesional. Tapi, kalau saya analogikan secara sederhana (dalam konteks
pementasan), kurang-lebih seperti ini: wacana itu ibarat jiwa; konsep itu
ibarat tubuh; dan teknis itu ibarat gerak. Bisa saja “tubuh yang cacat” tapi
gerakannya luwes dan jiwanya murni masih tetap menarik; atau “jiwa yang kotor”
tapi tubuhnya seksi dan gerakannya menggoda masih bisa dikatakan menarik. Ya,
tergantung pada penilaian individu masing-masing.
Lalu,
apa modal untuk menciptakan daya-tarik tersebut? Modal awal yang diperlukan
bagi “seniman teater” untuk mencapai daya-tarik adalah memahami unsur-unsur
teater itu sendiri.Unsur-unsur teater itu sendiri (sejauh pemahaman saya)
ialah cahaya, bunyi, riasan, kostum, properti, panggung, dan aktor. Oleh sebab
itulah, bila ada pandangan sejenis “pentas yang baik atau bagus tergantung pada
aktornya”, itu adalah pandangan yang sungguh kuno dan jahat karena mengabaikan
unsur-unsur teater lainnya. Maka sebagai “balasan” atas pandangan barusan, saya
berani berpendapat bahwa “pentas yang baik atau yang bagus tergantung pada kesatupaduan
tiap-tiap unsurnya”. Dan pertanyaan lebih lanjut tentu saja ialah:bagaimana
cara mencapai kesatupaduan tersebut?
Okelah,
izinkan saya untuk mencoba menjawab pertanyaan “berat” ini. Tapi sebelumnya,
harap singkirkan paradigma “sebatas/sekadar/cuma kayak gitu doang”
seperti: “lighting ya sebatas biar panggung gak gelap dan aktornya
kelihatan”; “musik ya sekadar main musik aja biar enggak sepi-sepi amat
pentasnya”; “make up mah yang penting kelihatan sama penonton
paling belakang, udah cuma kayak gitu doang”; dan sejenisnya (yang kian
melanda dalam pikiran seniman teater kampus Purwokerto). Paradigma yang seperti
itu memang tidak salah. Hanya saja akan mempersempit cara pandang memaknai
“teater” secara keseluruhan. Teater itu bisa dikatakan tidak terbatas selama
kreativitas (dunia ide) tetap diutamakan. Apabila terbatas, yang membatasinya
ialah para pegiat teater itu sendiri. Sudah dilakukan? Kalau sudah, mari kita
lanjutkan!
Sistem
kerja dalam berteater adalah sistem kerja kolektif, bukan sistem kerja
perseorangan. Berangkat dari sanalah, setidaknya ada semacam kesadaran bahwa
yang pentas di atas panggung bukan cuma aktor doang. Terus buat apa ada nama-nama kru di pamplet? Sekadar
pajangan biar kelihatan banyak? Tidak toh? Ya, tidaklah! Bahwa yang “PENTAS”
(baik di depan maupun di belakang panggung) adalah semua kru produksi yang
berupa Pimpro, Sekretaris, Bendahara, Humas, PDD, ATP, Konsumsi, Sponsorship,
Usdan, dan lain-lain (jika ada); dan juga kru panggung yang berupa Sutradara,
Asisten Sutradara, Stage Manager, Penata Gerak (jika ada), Penata Suara
(jika ada), Skenografer (jika ada), Aktor, Lighting, Musik, Make-Up
Costume, Setting, dan lain-lain (jika ada).
Selanjutnya,
perspektif para kru (khususnya kru panggung)dalam memaknai unsur-unsur teater.
Kira-kira, bagaimana kru musik memaknai “musik” dalam teater; bagaimana kru
setting memaknai “setting” dalam teater; dan lain-lain. Pemaknaan itu bisa
tercipta ketika (mencoba) memahami wacana, konsep, dan teknis di luar dan di
dalam naskah pementasan. Sangat disarankan sebelum memasuki “wacana” naskah,
para kru memiliki gambaran tentang unsur-unsur teater agar tidak gagap dalam menerjemahkan
“bahasa naskah” ke dalam “bahasa panggung”, biasanya melalui maket/miniatur
panggung. Dan alangkah baiknya, hal itu dilakukan oleh kru produksi serta kru
panggung secara bersama-sama.
Apakah
ada yang bertanya-tanya untuk apa kru produksi juga ikut menerjemahkan “bahasa
naskah” ke dalam “bahasa panggung”? Bukankah hal itu tidak perlu? Biarkan saja
itu menjadi tugasnya tim panggung. Ya, silakan saja kalau masih ingin terjebak
dalam paradigma “sebatas/sekadar/cuma kayak gitu doang”. Padahal, dengan
memahami “naskah dan panggung”, tim produksi akan lebih tearah kerjanya.
Pimpro
bisa memperhitungkan “target pasar” atau “sasaran penonton” pementasan yang
sesuai dengan tema naskah. Sekretaris bisa dengan lugas mengangkat tema
pementasan di dalam surat dan proposal; tidak hanya menuliskan judul
pementasannya saja. Bendahara bisa mengkalkuasi dengan lebih cermat dalam
membuat anggaran. Humas akan lebih jelas menginfokan pementasan dengan memahami
tema naskah; terkadang saya menemui kegagapan ketika ditanya pentasnya tentang
apa, atau pertanyaan sejenisnya. PDD memiliki gambaran awal dalam membuat
desain pamplet dan trailer, juga konsep pendokumentasian sehingga pementasan
teater tidak sekadar berlalu dan hanya bisa dibayangkan dan diceritakan. ATP
bisa menyesuaikan kebutuhan tim panggung. Sponsorship bisa mengangkat tema
naskah dalam lobby-ing dengan pihak sponsor untuk mengesankan
pementasannya. Usdan dan Konsumsi mungkin tidak terlalu berdampak langsung, tetapi
jujur saja, saya cuma bisa nrimo kalau diberi “snek bal-balan”
sama kopi/teh yang adem/tawar.
Saya pikir “teater” bisa dikenali
lebih dalam lagi dari pemaknaan saat ini. Teater bisa dimaknai sebagai studi
dengan dua cabang fokusan/pembahasan, yaitu studi penciptaan teater dan studi
ilmu teater. Studi penciptaan menyoal tentang kreativitas dalam menciptakan
pementasan teater, yang di dalamnya juga menyoal teori dan metodenya. Studi
ilmu teater menyoal tentang ideologi, kritik, analisis terhadap teater, baik di
dalam panggung maupun di luar panggung. Niscaya, dengan pemaknaan “teater” yang
demikian, teater akan terus berkembang mengikuti semangat zamannya.
Kalau pun teater tidak bisa dimaknai
demikian, mungkin ada persoalan lain yang lebih mendesak dan dibutuhkan,
tergantung sikap dari tiap-tiap pegiatnya. Tapi berdasarkan dugaan saya, ada
penyebab lain yang membuat pementasan-pementasan teater kampus Purwokerto
menjadi mandek, yaitu karena minimnya buku/literasi tentang “teater” (apa pun
itu bahasannya) yang tersedia. Tinggal kemudian, diserahkan kembali kepada
sikap tiap-tiap individu, apakah berteater hanya “sebatas”, “bebas tidak jelas”,
ataukah “bermakna luas”?
Sebagai catatan, saya
merekomendasikan buku “Kitab Teater” karya Nano Riantiarno sebagai bacaan-awal
dalam berteater. Selebihnya mungkin bisa didiskusikan lebih lanjut, atau mau
“begini-begini saja” hingga tanpa sadar teater kampus Purwokerto sedang menuju
ke arah senjakalanya. Silakan, suka-suka pegiat teater-lah, toh dari awal saya
sudah memosisikan diri saya sebagai penonton. Tapi perlu
diketahui, bukan
berarti penonton itu “tidak tahu apa-apa” dan “tidak bisa diajak bicara”.
Oke,
saya tutup dengan: Salam Budaya!
Bekasi,
30 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar