Hujan mengguyur desaku. Malam ini lengkap. Ayah sedang membaca koran di kursi, sambil sesekali menyeruput kopi gulanya. Bunda di sampingku, menonton televisi, aku menyandarkan kepalaku di bahunya, rambutku juga sesekali dibelai lembut. Bang Galen? Dia sedang tiduran di karpet dan bermain ponsel.
Abang aku itu tampan. Hidungnya mancung seperti hidung Ayah. Rahangnya tegas. Sorot matanya tajam, tetapi lembut kalau sedang mengobrol denganku. Warna kulitnya sawo matang. Pokoknya, aku cinta Bang Galen!
“Len, ambilkan Bunda minum di kulkas.”
Bang Galen menggeliat meregangkan tubuhnya. “Aaah, Gadis aja kenapa sih, Bun.”
“Kok aku sih? Orang Abang yang disuruh Bunda kok, ya.” Aku memeluk Bunda dari samping.
“Geser!” Bang Galen duduk di sampingku, padahal sofa yang kami duduki hanya muat dua orang.
“Sempit, ih! Bunda, Abang tuh!”
“Galen.” Yang ditegur malah nyengir dan melanjutkan senam jempol di ponselnya.
“Buruan, Bang, ambilin Bunda minum, nanti dimarahin Ayah loh.” Aku berbisik di dekat telinganya.
Tiba-tiba Bang Galen melompat dari sofa dan melempar ponselnya kepadaku, lalu berjalan cepat menuju kulkas. Tidak lama kemudian ia kembali dengan segelas air mineral dingin di tangan kanannya.
“Ta-daa! Air mineral dingin khusus untuk Bunda.” katanya bak seorang pramusaji. Bunda dan aku terkekeh geli. Ia melotot padaku, aku balas menjulurkan lidah.
“Minggir!” Bang Galen menarikku berdiri dan ia duduk di sebelah Bunda. Namun sebelum suara protes keluar dari mulutku, ia buru-buru menarikku kembali. Alhasil, aku duduk di pangkuannya. Jantungku berdebar kencang. Deru napasnya begitu terasa hangat di tengkukku. Perlahan kusandarkan kepalaku di bahunya yang bidang. Ah, nyamannya. Aku memejamkan mata, berniat tidur, supaya nanti ia menggendongku sampai ke kasur kamarku.
Benar saja, esok paginya ketika aku bangun, aku sudah berada di atas kasur dengan selimut yang menyelimuti tubuhku. Aku memekik senang dan segera bersiap-siap untuk sekolah. Sekolahku berada cukup jauh dari rumah. Mungkin sekitar enam puluh langkah dari teras rumah. Serius, dulu aku pernah iseng menghitungnya bersama Bang Galen. Seragam SMA melekat indah di tubuhku yang ramping. Rambut panjang milikku dikuncir kuda. Lalu dengan gerakan yang tidak pernah tidak kulakukan setiap hendak pergi ke sekolah, kuolesi bibir mungilku dengan lip-tint merah. Tidak seperti siswi kebanyakan yang selalu memakai krim wajah atau bedak, wajahku sudah mulus dan putih. Sama sekali tidak ada bekas jerawat. Paling, ada satu tahi lalat di bawah mata kananku. Bulu mataku pun sudah lentik tanpa memakai mascarra. Banyak orang yang mengatakan kalau wajahku ini mirip orang Arab.
Setelah berpamitan pada Ayah dan Bunda, Bang Galen mengantarkanku sampai gerbang sekolah menggunakan motor matic miliknya. Lalu ia pergi menuju Universitas Terbuka di kota, atau kalau sedang libur, ia pergi ke salah satu kafe di kota dan bekerja di sana. Biasanya sebelum aku memasuki gerbang, Bang Galen menjulurkan tangannya padaku dengan wajah iseng sambil berkata, “Cium tangan dulu dong, Dek.” Tentu saja aku senang melakukan hal itu. Jangankan cium tangan, cium bibir pun aku mau. Namun, pagi tadi hal itu tidak terjadi. Setelah aku turun dari motor, ia langsung melajukan motornya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak seperti biasanya.
Suasana hatiku menjadi buruk. Ketika pelajaran olahraga di lapangan, aku tidak terlalu memperhatikan apa yang guru sampaikan dan melakukan pemanasan dengan ogah-ogahan.
“Gadis!” Suara teman sebangkuku memecah lamunan. Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Bulir keringat muncul di dahi dan pelipis. Kutolehkan kepalaku ke samping dengan wajah datar, ia telah merusak dunia imajinasi yang sedang kubangun bersama Bang Galen.
“Kamu nggak ganti baju? Sebentar lagi bel masuk.”
“Masih ada lima belas menit kok, Nin. Pasti nanti masih keburu. Aku mager.”
Nina mengulurkan sebotol air mineral dingin padaku. “Tumben kamu mager, biasanya cerewet banget di kelas. Ada apa sih hari ini? Kamu nggak kayak biasanya.”
“Nggak pa-pa. Lagi malas dengan dunia nyata.” Aku meminum air pemberian Nina, lalu menempelkan botolnya ke pipi.
“Tadi kamu dicariin dia, Dis.”
“Dia siapa?”
“Arsen.”
“Ada apa, sih?” Nina mengangkat bahu.
Kuhela napas kasar. Olahraga di siang hari benar-benar tidak menyenangkan. Aku heran, kenapa pihak sekolah memberi kelasku jadwal olahraga di jam seperti ini?
Lima menit kemudian kami berdua berjalan menuju ruang ganti perempuan, untuk mengganti seragam olahraga menjadi seragam putih abu-abu. Tubuhku sangat lengket, aku ingin segera pulang, mandi, dan bertemu Bang Galen. Memikirkan wajahnya saja membuat pikiranku kembali segar, meski hanya sekejap. Sepertinya aku sudah sangat merindukannya. Diam-diam aku terkekeh membayangkan ia di sana pun sedang merindukanku, tapi tentu saja hal itu mustahil.
Tiba di kelas, kepalaku di ketuk seseorang dari samping. Aku menoleh. Wajah Bang Galen yang tampan berganti menjadi wajah iseng Arsen. Ia adalah teman pertamaku di sekolah ini sebelum Nina. Kami berkenalan ketika masa orientasi siswa, lalu berteman cukup dekat sampai sekarang. Sebenarnya ia juga tampan, karena wajah khasnya yang barat-oriental itu. Ayahnya bule—entah dari negara mana aku lupa—dan ibunya dari Jepang. Namun, tingkahnya yang begitu menjengkelkan menghapus fakta tersebut di benakku. Tapi kenapa tetap saja banyak siswi yang menyukainya dan selalu menatapnya dengan tatapan memuja? Aku bergidik. Tentu aku bukan termasuk dari siswi kebanyakan.
“Kelasmu di sebelah, Sen.” kataku mengabaikan ketukan di kepalaku tadi.
“Kamu seharian ini belum ke kantin, ya? Emang nggak laper?”
“Nggak nafsu makan.” Aku duduk di bangku diikuti Arsen yang duduk di bangku depanku.
“Nih,” Ia meletakkan bungkusan plastik berisi sterofoam di atas mejaku. “batagor kesukaanmu. Tanpa timun.”
Aku sontak tersenyum, mungkin senyum pertamaku di hari ini. Aroma khas batagor membuat perutku berbunyi. Kurasa aku baru sadar kalau aku sangat lapar.
“Tapi kayaknya udah agak dingin, Dis. Kamu, sih. Aku cariin dari tadi nggak ketemu-ketemu.”
Aku mennyengir. “Ngga pa-pa kok. Thanks, ya.”
Arsen mengangguk lalu melihatiku makan sampai batagorku habis, mengambil kembali sterofoam yang sudah kosong, menepuk-nepuk kepalaku, kemudian pamit pergi ke kelasnya. Muncul debaran kecil dalam dada, tetapi aku mengabaikannya.
Malam ini tidak hujan. Malam ini pula tidak lengkap, karena Ayah tidak pulang ke rumah. Katanya ia harus lembur di kantor. Bunda tidak menonton televisi, sepertinya langsung pergi tidur di kamarnya setelah makan malam tadi. Setelah mengerjakan tugas matematika, aku menonton drama korea di laptop Bang Galen. Tidak, Bang Galen tidak suka menonton drama seperti itu, ia hanya mengunduhkannya untukku karena aku belum diizinkan mempunyai laptop sendiri. Di atas kasur Bang Galen, aku memekik senang karena pemain drama yang tampan-tampan, terkadang sampai tertawa terbahak. Si empunya laptop di sampingku hanya melirik bingung kemudian menggelengkan kepala melihat tingkahku, lalu memejamkan mata.
“Hahahahahah! Abang itu liat deh masa tangannya patah masih bisa nyetir mobil terus kebut-kebutan.” Aku menggoyangkan bahu Bang Galen lalu menunjuk-nunjuk layar laptop. Bang Galen hanya meresponku dengan gumaman tidak jelas. Aku menoleh. “Ih, Abang! Malah tidur.”
Kulihat wajah Bang Galen yang sedang terlelap, lucu sekali. Aku menekan space pada keyboard untuk menjeda drama yang kutonton. Lalu beringsut mengubah posisi agar menghadap Bang Galen. Sekitar lima menit aku hanya menatapinya. Kuberanikan jemariku menyusuri wajahnya, mulai dari lekuk matanya, hidungnya, pipinya, rahangnya, lalu bibirnya. Terbesit niat iseng untuk mengecupnya. Aku terkekeh tanpa suara. Perlahan kukikis jarak antara wajahku dengan wajahnya, kudekatkan bibirku ke bibirnya. Sedikit lagi. Aku pejamkan mataku. Sedikit lagi. Napasnya yang teratur begitu terasa. Sedikit lagi. Aku bisa melakukannnya dengan cepat. Sedikit lag-
“Hnngghh…”
Oh tidak! Segera kujatuhkan kepalaku ke bantal terdekat. Jantungku berpacu keras, napasku naik turun. Beberapa detik kemudian, kudengar napasnya masih teratur, artinya tadi Bang Galen hanya mengigau lalu tidur lagi. Aku merutuki diri dalam hati, bagaimana kalau tadi Bang Galen membuka matanya lalu melihatku sedang di posisi seperti itu? Demi Tuhan, sampai esok pagi ada yang membangunkan tidak akan kubuka kedua mataku.
***
“Dis! Gadis!”
Tubuhku tersentak. “Eh, iya? Bilang apa tadi, Sen?”
Suasana kantin masih cukup ramai. Batagorku sudah habis, begitu juga dengan ketoprak milik Arsen. Nina tadi pamit masuk ke kelas terlebih dulu.
Arsen menepuk jidat, lalu memberiku susu kotak coklat dingin dengan sedotan yang sudah terpasang. “Kamu ngelamunin apa sih? Dari kemarin sikapmu nggak kayak biasanya.”
Aku tertawa dalam hati, kemarin Nina mengataiku seperti itu, sekarang Arsen.
“Nggak tahu, Sen. Kayaknya aku beneran jatuh cinta.” Susu coklat mengalir sejuk di tenggorokanku.
Arsen mencondongkan badannya ke depan. “Kamu? Jatuh cinta? Ke siapa?”
“Kepo!”
Arsen mengerucutkan mulut ke samping, tangannya bersedekap, lalu mendengus keras. Persis seperti adik sepupuku yang berusia tujuh tahun jika sedang merajuk. Aku tertawa geli.
“Bang Galen.”
“Bang Galen? Bang Galen… Namanya nggak asing, Dis.” Keningnya berkerut.
“Dia itu-“
“Shushh!” Telunjuknya menempel di bibirku. “Biarkan Arsen menemukan ingatannya sendiri.” Aku memegang telunjuknya dan membuka mulutku, reflek Arsen menarik tangannya. Aku terkekeh.
Bel masuk berbunyi bersamaan dengan erangan frustasi Arsen. “Udah jangan terlalu dipikirin, Sen.” Arsen menggeleng kuat-kuat, bertekad akan mengingat siapa Bang Galen itu. Ingatannya memang lebih payah dariku. Kami berdua berjalan menuju kelas, seperti biasa Arsen akan mengantarkanku sampai pintu dan memastikanku duduk di bangku. Setelah itu ia baru pergi menuju kelasnya.
“Kenapa kalian nggak pacaran aja, sih?” tanya Nina.
“Hahahaha. Kok mikir sampai situ sih, Nin?”
“Tuh, kamu cantik-cantik bego ya. Jelas-jelas si Arsen suka sama kamu, Gadis.”
Aku menelungkupkan kepala di atas meja. “Nggak ah. Nina ngarang.”
“Ih, ngeyel!” Nina mengetuk kepalaku pelan.
Pelajaran terbosan bagiku dimulai. Sejarah. Aku tidak bisa untuk tidak mengantuk bahkan tertidur pada jam pelajaran ini. Pak Udin, guru yang mengampu mata pelajaran ini bisa dibilang cukup galak dan tegas. Sekali melihat ada murid yang tertidur di kelasnya, satu kelas akan terkena hukumannya, minimal membersihkan gudang barang, atau paling parah membersihkan seluruh toilet sekolah yang jumlahnya tidak kurang dari lima toilet. Namun, aku yang duduk di bangku nomor dua dari belakang samping tembok, belum pernah ketahuan. Hebat, bukan?
Ketika sedang asik memimpikan Bang Galen yang memelukku, tiba-tiba Nina mengguncang bahuku kuat-kuat. “Dis! Gadis! Bangun, ih! Itu Pak Udin lagi jalan ke sini! Gadis!” bisiknya. Aku menggeliat perlahan, lalu mengucek-ucek mata. Nina membantu merapihkan rambutku yang acak-acakan. Kemudian menyuruhku menulis materi yang terdapat pada papan tulis, gadis itu pun melakukan hal yang sama.
“Ehem,” Pak Udin melirik ke meja kami sekilas dan kembali melanjutkan ‘patroli’nya. Kami berdua membekap mulut lalu terkikik-kikik.
Menit demi menit berlalu, kelas kami dari luar tampak begitu tenang tanpa suara seolah penghuninya begitu menyimak pelajaran. Nyatanya kami sedang terjebak ruang kebosanan. Tidak lama kemudian bel pulang berbunyi bak suara dari surga. Terdengar seruan tertahan dari detiap bangku. Setelah Pak Udin memberi salam penutup dan keluar kelas, seruan-seruan tertahan tadi pecah menjadi sorak kegembiraan. Di antara riuh, terdengar seseorang meneriakkan namaku berkali-kali dari luar.
“Gadiiiis!!! Gadiiiis!!!”
Brakk!
Pintu kelasku terbuka lebar, menampakkan sosok Arsen yang terengah-engah.
“Dis, aku tahu!” Arsen berjalan cepat ke mejaku dan menggoyangkan lenganku.
“Ada apa sih, Sen? Dateng-dateng heboh.” Nina menatap Arsen bingung sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
Arsen menatap mataku lalu berbisik, “Dia itu abang kamu, kan?”
“Abang Gadis? Bang Galen? Dia kenapa, Dis?” Nina belum memahami topik percakapan kami.
Sungguh, aku bingung hendak menanggapi yang mana. Arsen dengan raut bak seorang detektif yang telah menemukan siapa pelaku dalam kasusnya, dan Nina dengan raut ingin tahu. Akhirnya aku memilih menatap Arsen, “Iya, dia abang aku. Bang Galen.” Lalu berganti menatap Nina, “Nin, bakal aku jelasin kok. Tapi tolong jangan kaget, ya? Jangan teriak-teriak dan jangan beritahu siapapun, kamu juga Arsen.” Keduanya mengangguk dan mengacungkan jempol.
Sebelum pulang ke rumah, kami mampir ke sebuah kafe dekat sekolah. Tidak lupa kukirimkan sebuah pesan singkat kepada Bang Galen untuk tidak menjemputku. Tiga puluh menit ceritaku selesai. Melihat ekspresi wajah Nina sepertinya ia sangat shock. Arsen pun tidak mengatakan apapun, diam, hanya sesekali berdehem pelan. Aku bisa mengerti mengapa mereka seperti itu.
***
Pukul setengah sepuluh, Ayah pulang membawa sekotak donat. Aku mencomotnya satu yang rasa coklat kacang. Katanya itu pemberian dari atasan Ayah karena Ayah sering kerja lembur. Kebetulan aku sangat menyukai donat.
“Abangmu sisain, loh.”
Aku membulatkan bibir dan mengiyakan sambil mencomot donat kedua, rasa keju. Lalu Ayah masuk kamar menyusul Bunda yang sepertinya sudah tidur. Mataku masih segar, apalagi dengan datangnya sekotak donat. Sisi jahatku muncul, berbisik agar menghabiskan semua donat menggiurkan itu. Besok Abang suruh beli sendiri aja deh, pikirku akhirnya.
Acara televisi terasa membosankan, jadilah televisi yang menontonku, bukan sebaliknya. Langit bergemuruh, kurasa akan hujan lagi. Memang, akhir-akhir ini setiap malam pasti turun hujan. Mulai dari yang gerimis sampai yang seperti badai dengan angin kencang. Semoga malam ini hanya hujan sedang, karena Bang Galen belum pulang juga. Biasanya jam sembilan tadi sudah pulang, jam kerjanya habis. Mungkin sekarang sedang banyak pengunjung karena akhir pekan. Aku harap pagi tadi ia tidak lupa memasukkan jas hujan di bawah jok motornya. Donat ketiga kugigit, kali ini sirsak. Enak!
Suara mesin motor berhenti di teras rumah.
Tok! Tok!
Aku bergegas menuju pintu depan, pasti itu Bang Galen. Kujilat jari-jariku sebelum memegang kenop pintu. Tepat ketika pintu terbuka, tubuh seseorang ambruk. Bau alkohol samar-samar tercium. Ini Bang Galen, kan? Melihat jaket dan celana yang digunakan, tidak salah lagi, ini memang Bang Galen. Aku menyeret tubuhnya sampai ke sofa, lalu menidurkannya. Segera aku keluar untuk memasukkan motor ke dalam rumah, kemudian mengunci pintu. Rintik hujan berjatuhan, syukurlah Bang Galen sampai sebelum hujan.
Kondisi Bang Galen tidak seperti biasanya. Sungguh, ia tidak pernah sekusut ini sampai mabuk. Selelah-lelahnya ia hidup, tidak sampai menyentuh alkohol, paling mengurung diri dalam kamar sambil menonton anime. Harus kuapakan ia? Gawat kalau sampai Ayah dan Bunda tahu. Aku mencoba menepuk-nepuk kedua pipinya agar bangun.
“Abang, bangun. Bang Galen, bangun, ih.”
Tiba-tiba tangannya mencengkeram pergelangan tanganku. Kuat sekali. Aku meringis dan mencoba melepaskan cengkeramannya. Namun, sia-sia. Tubuhku ditarik hingga jatuh ke atasnya. Aku menahan napas.
“Abang, ngapain, sih? Bangun!” bisikku tertahan.
Aku mencoba bangkit, tapi ia seperti menahanku. Tiba-tiba daguku ditarik hingga bibirnya menyentuh bibirku dan melumatnya pelan. Apa-apaan ini?! batinku. Semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin ia melumat dan menggigiti bibirku. Tangannya berpindah dari dagu ke bahu, lalu dari bahu ke pinggang. Tubuhku merinding. Napasnya memburu, tapi anehnya, matanya tetap memejam. Aku hampir kehabisan napas hingga perlahan lumatannya memelan, napasnya berubah normal. Aku segera bernapas dan menjatuhkan diri ke karpet. Tangan dan kakiku gemetar. Aku menangis lirih, aku sangat takut. Kupaksakan untuk melangkahkan kaki menuju kamar, lalu menangis sepuasnya hingga tertidur.
Esoknya aku demam. Badanku panas. Bunda bilang, aku bisa izin tidak berangkat sekolah. Tapi aku tidak mau. Arsen akan menjemputku sebentar lagi. Segera kuhabiskan nasi gorengku. Semalam sepertinya Bang Galen berpindah ke kamar dan pagi ini—syukurlah—ia belum kelihatan, mungkin belum bangun.
Tok! Tok!
Bunda membuka pintu. Rupanya Arsen. Bunda menyuruhnya masuk dan bergabung sarapan dengan kami, tapi ia menolaknya dengan sopan. Aku meletakkan sendok dan meminum susu coklat di gelas. Kemudian kami pamit berangkat. Di perjalanan Arsen terus bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku hanya menggeleng dan menyandarkan dahiku ke punggungnya. Hampir saja aku terlelap ketika Arsen memarkirkan motornya di halaman parkir sekolah.
Sesampainya di kelas, Nina mempertanyakan hal yang serupa. Aku terus menggeleng lalu melipat lengan ke meja dan meletakkan kepalaku di atasnya. Kepalaku rasanya seperti ditindihi batu berton-ton.
“Dis, kamu mau nitip batagor nggak?” tanya Nina ketika bel istirahat berbunyi.
Aku menjawab lirih, “Nggak usah. Panggilin Arsen.”
Namun sebelum Nina berjalan ke luar kelas, Arsen sudah berlari menuju mejaku dengan bungkusan plastik putih di tangannya.
“Pangeranmu datang tuh, Dis.” Terdengar kekehan Nina. “Titip Gadis, Sen. Dia lagi nggak baik. Aku ke kantin dulu, laper.”
“Yoi.” Arsen duduk di depanku. “Hai, Dis, aku bawain batagor. Makan dulu coba.”
Aku diam, kepalaku berdenyut.
“Dis, ke UKS aja yuk? Nanti batagornya bawa pulang aja.”
Aku mencoba mengangkat kepalaku yang masih saja terasa berat. Kucoba menatap manik mata lelaki itu dalam-dalam. Tetapi pandanganku mulai berkunang-kunang...
“Sen, semalam—“
Dan menggelap.
Brugh!
“Dis!”
***
Langit-langit putih kusam adalah yang pertama kulihat setelah berhasil membuka kelopak mataku yang lengket. Tubuhku rasanya begitu berat. Pandanganku menelusuri tempat aku berbaring. Beberapa detik kemudian otakku baru menyadari kalau aku berada di UKS. Seorang gadis berkacamata memasuki UKS, melihatku yang juga sedang melihatnya dan berlari keluar. Selang beberapa lama, Arsen dan Nina masuk dengan raut khawatir.
“Kamu nggak pa-pa, Dis?” tanya Arsen mengelus rambutku. Aku mengangguk, mencoba mengukir senyum. “Minum dulu.” Kemudian ia membantuku duduk.
Nina duduk di samping ranjang, memegang tanganku, lalu berkata seolah aku akan mati, “Sumpah, kamu bikin kami khawatir, tau-tau pingsan gitu. Seharusnya kalau sakit nggak usah berangkat sekolah, izin kan bisa. Udah itu muka pucet banget kayak mayat.”
“Aku nggak pa-pa, Nina. Hehe, maaf bikin kalian khawatir.” Suaraku serak hampir tak terdengar.
“Jelasin apa yang terjadi semalam.” kata Arsen tiba-tiba.
Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakannya kepada mereka. Kuatur napas pelan. Tidak lama kemudian mengalirlah ceritaku tentang peristiwa semalam.
“Gila…” Nina menutup mulutnya. Sebenarnya aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Air mataku sudah tumpah sampai habis pada malam itu. Arsen menatapku tidak percaya. Sudah kuduga ekspresi mereka akan seperti itu.
“Kamu belum ketemu dia lagi sejak malam itu?”
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum miring. “Kukira waktu aku jatuh cinta sama dia, digituin pun aku rela. Tapi kenyataannya aku benar-benar takut. Itu mimpi buruk terburuk yang pernah aku rasain.” Kuhela napas kasar. “Aku ingin jadi normal.”
Tiba-tiba Arsen memelukku erat, mengusap rambutku pelan dan berbisik menenangkan, “Aku janji bakal bantu kamu untuk jadi normal. Kamu nggak usah takut, ada aku.” Entah kenapa aku jadi terisak.
“Dis, kamu jangan takut. Kami akan selalu ada buat kamu.” Nina ikut memelukku. Aku balas memeluk erat mereka berdua.
“Tunggu,” Kulepaskan pelukan sambil menyedot ingus. “gimana caranya kalian bantu aku biar bias jadi normal?”
Hening. Dalam gerakan kilat Arsen mencolek hidungku. “Aku.”
“Kamu?”
“Aku bakal berusaha bikin kamu jatuh cinta sama aku.” Senyumnya mengembang, aku tidak bisa menahan kedua sudut bibirku untuk tidak ikut tertarik.
Nina berseru sambil mencolek-colek pipiku dan pipi Arsen, “Cieeeeeeeee!”
Kami terbahak dan kembali berpelukan erat.
Direvisi pada,
Purwokerto, 27 September 2019
Abang aku itu tampan. Hidungnya mancung seperti hidung Ayah. Rahangnya tegas. Sorot matanya tajam, tetapi lembut kalau sedang mengobrol denganku. Warna kulitnya sawo matang. Pokoknya, aku cinta Bang Galen!
“Len, ambilkan Bunda minum di kulkas.”
Bang Galen menggeliat meregangkan tubuhnya. “Aaah, Gadis aja kenapa sih, Bun.”
“Kok aku sih? Orang Abang yang disuruh Bunda kok, ya.” Aku memeluk Bunda dari samping.
“Geser!” Bang Galen duduk di sampingku, padahal sofa yang kami duduki hanya muat dua orang.
“Sempit, ih! Bunda, Abang tuh!”
“Galen.” Yang ditegur malah nyengir dan melanjutkan senam jempol di ponselnya.
“Buruan, Bang, ambilin Bunda minum, nanti dimarahin Ayah loh.” Aku berbisik di dekat telinganya.
Tiba-tiba Bang Galen melompat dari sofa dan melempar ponselnya kepadaku, lalu berjalan cepat menuju kulkas. Tidak lama kemudian ia kembali dengan segelas air mineral dingin di tangan kanannya.
“Ta-daa! Air mineral dingin khusus untuk Bunda.” katanya bak seorang pramusaji. Bunda dan aku terkekeh geli. Ia melotot padaku, aku balas menjulurkan lidah.
“Minggir!” Bang Galen menarikku berdiri dan ia duduk di sebelah Bunda. Namun sebelum suara protes keluar dari mulutku, ia buru-buru menarikku kembali. Alhasil, aku duduk di pangkuannya. Jantungku berdebar kencang. Deru napasnya begitu terasa hangat di tengkukku. Perlahan kusandarkan kepalaku di bahunya yang bidang. Ah, nyamannya. Aku memejamkan mata, berniat tidur, supaya nanti ia menggendongku sampai ke kasur kamarku.
Benar saja, esok paginya ketika aku bangun, aku sudah berada di atas kasur dengan selimut yang menyelimuti tubuhku. Aku memekik senang dan segera bersiap-siap untuk sekolah. Sekolahku berada cukup jauh dari rumah. Mungkin sekitar enam puluh langkah dari teras rumah. Serius, dulu aku pernah iseng menghitungnya bersama Bang Galen. Seragam SMA melekat indah di tubuhku yang ramping. Rambut panjang milikku dikuncir kuda. Lalu dengan gerakan yang tidak pernah tidak kulakukan setiap hendak pergi ke sekolah, kuolesi bibir mungilku dengan lip-tint merah. Tidak seperti siswi kebanyakan yang selalu memakai krim wajah atau bedak, wajahku sudah mulus dan putih. Sama sekali tidak ada bekas jerawat. Paling, ada satu tahi lalat di bawah mata kananku. Bulu mataku pun sudah lentik tanpa memakai mascarra. Banyak orang yang mengatakan kalau wajahku ini mirip orang Arab.
Setelah berpamitan pada Ayah dan Bunda, Bang Galen mengantarkanku sampai gerbang sekolah menggunakan motor matic miliknya. Lalu ia pergi menuju Universitas Terbuka di kota, atau kalau sedang libur, ia pergi ke salah satu kafe di kota dan bekerja di sana. Biasanya sebelum aku memasuki gerbang, Bang Galen menjulurkan tangannya padaku dengan wajah iseng sambil berkata, “Cium tangan dulu dong, Dek.” Tentu saja aku senang melakukan hal itu. Jangankan cium tangan, cium bibir pun aku mau. Namun, pagi tadi hal itu tidak terjadi. Setelah aku turun dari motor, ia langsung melajukan motornya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak seperti biasanya.
Suasana hatiku menjadi buruk. Ketika pelajaran olahraga di lapangan, aku tidak terlalu memperhatikan apa yang guru sampaikan dan melakukan pemanasan dengan ogah-ogahan.
“Gadis!” Suara teman sebangkuku memecah lamunan. Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Bulir keringat muncul di dahi dan pelipis. Kutolehkan kepalaku ke samping dengan wajah datar, ia telah merusak dunia imajinasi yang sedang kubangun bersama Bang Galen.
“Kamu nggak ganti baju? Sebentar lagi bel masuk.”
“Masih ada lima belas menit kok, Nin. Pasti nanti masih keburu. Aku mager.”
Nina mengulurkan sebotol air mineral dingin padaku. “Tumben kamu mager, biasanya cerewet banget di kelas. Ada apa sih hari ini? Kamu nggak kayak biasanya.”
“Nggak pa-pa. Lagi malas dengan dunia nyata.” Aku meminum air pemberian Nina, lalu menempelkan botolnya ke pipi.
“Tadi kamu dicariin dia, Dis.”
“Dia siapa?”
“Arsen.”
“Ada apa, sih?” Nina mengangkat bahu.
Kuhela napas kasar. Olahraga di siang hari benar-benar tidak menyenangkan. Aku heran, kenapa pihak sekolah memberi kelasku jadwal olahraga di jam seperti ini?
Lima menit kemudian kami berdua berjalan menuju ruang ganti perempuan, untuk mengganti seragam olahraga menjadi seragam putih abu-abu. Tubuhku sangat lengket, aku ingin segera pulang, mandi, dan bertemu Bang Galen. Memikirkan wajahnya saja membuat pikiranku kembali segar, meski hanya sekejap. Sepertinya aku sudah sangat merindukannya. Diam-diam aku terkekeh membayangkan ia di sana pun sedang merindukanku, tapi tentu saja hal itu mustahil.
Tiba di kelas, kepalaku di ketuk seseorang dari samping. Aku menoleh. Wajah Bang Galen yang tampan berganti menjadi wajah iseng Arsen. Ia adalah teman pertamaku di sekolah ini sebelum Nina. Kami berkenalan ketika masa orientasi siswa, lalu berteman cukup dekat sampai sekarang. Sebenarnya ia juga tampan, karena wajah khasnya yang barat-oriental itu. Ayahnya bule—entah dari negara mana aku lupa—dan ibunya dari Jepang. Namun, tingkahnya yang begitu menjengkelkan menghapus fakta tersebut di benakku. Tapi kenapa tetap saja banyak siswi yang menyukainya dan selalu menatapnya dengan tatapan memuja? Aku bergidik. Tentu aku bukan termasuk dari siswi kebanyakan.
“Kelasmu di sebelah, Sen.” kataku mengabaikan ketukan di kepalaku tadi.
“Kamu seharian ini belum ke kantin, ya? Emang nggak laper?”
“Nggak nafsu makan.” Aku duduk di bangku diikuti Arsen yang duduk di bangku depanku.
“Nih,” Ia meletakkan bungkusan plastik berisi sterofoam di atas mejaku. “batagor kesukaanmu. Tanpa timun.”
Aku sontak tersenyum, mungkin senyum pertamaku di hari ini. Aroma khas batagor membuat perutku berbunyi. Kurasa aku baru sadar kalau aku sangat lapar.
“Tapi kayaknya udah agak dingin, Dis. Kamu, sih. Aku cariin dari tadi nggak ketemu-ketemu.”
Aku mennyengir. “Ngga pa-pa kok. Thanks, ya.”
Arsen mengangguk lalu melihatiku makan sampai batagorku habis, mengambil kembali sterofoam yang sudah kosong, menepuk-nepuk kepalaku, kemudian pamit pergi ke kelasnya. Muncul debaran kecil dalam dada, tetapi aku mengabaikannya.
Malam ini tidak hujan. Malam ini pula tidak lengkap, karena Ayah tidak pulang ke rumah. Katanya ia harus lembur di kantor. Bunda tidak menonton televisi, sepertinya langsung pergi tidur di kamarnya setelah makan malam tadi. Setelah mengerjakan tugas matematika, aku menonton drama korea di laptop Bang Galen. Tidak, Bang Galen tidak suka menonton drama seperti itu, ia hanya mengunduhkannya untukku karena aku belum diizinkan mempunyai laptop sendiri. Di atas kasur Bang Galen, aku memekik senang karena pemain drama yang tampan-tampan, terkadang sampai tertawa terbahak. Si empunya laptop di sampingku hanya melirik bingung kemudian menggelengkan kepala melihat tingkahku, lalu memejamkan mata.
“Hahahahahah! Abang itu liat deh masa tangannya patah masih bisa nyetir mobil terus kebut-kebutan.” Aku menggoyangkan bahu Bang Galen lalu menunjuk-nunjuk layar laptop. Bang Galen hanya meresponku dengan gumaman tidak jelas. Aku menoleh. “Ih, Abang! Malah tidur.”
Kulihat wajah Bang Galen yang sedang terlelap, lucu sekali. Aku menekan space pada keyboard untuk menjeda drama yang kutonton. Lalu beringsut mengubah posisi agar menghadap Bang Galen. Sekitar lima menit aku hanya menatapinya. Kuberanikan jemariku menyusuri wajahnya, mulai dari lekuk matanya, hidungnya, pipinya, rahangnya, lalu bibirnya. Terbesit niat iseng untuk mengecupnya. Aku terkekeh tanpa suara. Perlahan kukikis jarak antara wajahku dengan wajahnya, kudekatkan bibirku ke bibirnya. Sedikit lagi. Aku pejamkan mataku. Sedikit lagi. Napasnya yang teratur begitu terasa. Sedikit lagi. Aku bisa melakukannnya dengan cepat. Sedikit lag-
“Hnngghh…”
Oh tidak! Segera kujatuhkan kepalaku ke bantal terdekat. Jantungku berpacu keras, napasku naik turun. Beberapa detik kemudian, kudengar napasnya masih teratur, artinya tadi Bang Galen hanya mengigau lalu tidur lagi. Aku merutuki diri dalam hati, bagaimana kalau tadi Bang Galen membuka matanya lalu melihatku sedang di posisi seperti itu? Demi Tuhan, sampai esok pagi ada yang membangunkan tidak akan kubuka kedua mataku.
***
“Dis! Gadis!”
Tubuhku tersentak. “Eh, iya? Bilang apa tadi, Sen?”
Suasana kantin masih cukup ramai. Batagorku sudah habis, begitu juga dengan ketoprak milik Arsen. Nina tadi pamit masuk ke kelas terlebih dulu.
Arsen menepuk jidat, lalu memberiku susu kotak coklat dingin dengan sedotan yang sudah terpasang. “Kamu ngelamunin apa sih? Dari kemarin sikapmu nggak kayak biasanya.”
Aku tertawa dalam hati, kemarin Nina mengataiku seperti itu, sekarang Arsen.
“Nggak tahu, Sen. Kayaknya aku beneran jatuh cinta.” Susu coklat mengalir sejuk di tenggorokanku.
Arsen mencondongkan badannya ke depan. “Kamu? Jatuh cinta? Ke siapa?”
“Kepo!”
Arsen mengerucutkan mulut ke samping, tangannya bersedekap, lalu mendengus keras. Persis seperti adik sepupuku yang berusia tujuh tahun jika sedang merajuk. Aku tertawa geli.
“Bang Galen.”
“Bang Galen? Bang Galen… Namanya nggak asing, Dis.” Keningnya berkerut.
“Dia itu-“
“Shushh!” Telunjuknya menempel di bibirku. “Biarkan Arsen menemukan ingatannya sendiri.” Aku memegang telunjuknya dan membuka mulutku, reflek Arsen menarik tangannya. Aku terkekeh.
Bel masuk berbunyi bersamaan dengan erangan frustasi Arsen. “Udah jangan terlalu dipikirin, Sen.” Arsen menggeleng kuat-kuat, bertekad akan mengingat siapa Bang Galen itu. Ingatannya memang lebih payah dariku. Kami berdua berjalan menuju kelas, seperti biasa Arsen akan mengantarkanku sampai pintu dan memastikanku duduk di bangku. Setelah itu ia baru pergi menuju kelasnya.
“Kenapa kalian nggak pacaran aja, sih?” tanya Nina.
“Hahahaha. Kok mikir sampai situ sih, Nin?”
“Tuh, kamu cantik-cantik bego ya. Jelas-jelas si Arsen suka sama kamu, Gadis.”
Aku menelungkupkan kepala di atas meja. “Nggak ah. Nina ngarang.”
“Ih, ngeyel!” Nina mengetuk kepalaku pelan.
Pelajaran terbosan bagiku dimulai. Sejarah. Aku tidak bisa untuk tidak mengantuk bahkan tertidur pada jam pelajaran ini. Pak Udin, guru yang mengampu mata pelajaran ini bisa dibilang cukup galak dan tegas. Sekali melihat ada murid yang tertidur di kelasnya, satu kelas akan terkena hukumannya, minimal membersihkan gudang barang, atau paling parah membersihkan seluruh toilet sekolah yang jumlahnya tidak kurang dari lima toilet. Namun, aku yang duduk di bangku nomor dua dari belakang samping tembok, belum pernah ketahuan. Hebat, bukan?
Ketika sedang asik memimpikan Bang Galen yang memelukku, tiba-tiba Nina mengguncang bahuku kuat-kuat. “Dis! Gadis! Bangun, ih! Itu Pak Udin lagi jalan ke sini! Gadis!” bisiknya. Aku menggeliat perlahan, lalu mengucek-ucek mata. Nina membantu merapihkan rambutku yang acak-acakan. Kemudian menyuruhku menulis materi yang terdapat pada papan tulis, gadis itu pun melakukan hal yang sama.
“Ehem,” Pak Udin melirik ke meja kami sekilas dan kembali melanjutkan ‘patroli’nya. Kami berdua membekap mulut lalu terkikik-kikik.
Menit demi menit berlalu, kelas kami dari luar tampak begitu tenang tanpa suara seolah penghuninya begitu menyimak pelajaran. Nyatanya kami sedang terjebak ruang kebosanan. Tidak lama kemudian bel pulang berbunyi bak suara dari surga. Terdengar seruan tertahan dari detiap bangku. Setelah Pak Udin memberi salam penutup dan keluar kelas, seruan-seruan tertahan tadi pecah menjadi sorak kegembiraan. Di antara riuh, terdengar seseorang meneriakkan namaku berkali-kali dari luar.
“Gadiiiis!!! Gadiiiis!!!”
Brakk!
Pintu kelasku terbuka lebar, menampakkan sosok Arsen yang terengah-engah.
“Dis, aku tahu!” Arsen berjalan cepat ke mejaku dan menggoyangkan lenganku.
“Ada apa sih, Sen? Dateng-dateng heboh.” Nina menatap Arsen bingung sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
Arsen menatap mataku lalu berbisik, “Dia itu abang kamu, kan?”
“Abang Gadis? Bang Galen? Dia kenapa, Dis?” Nina belum memahami topik percakapan kami.
Sungguh, aku bingung hendak menanggapi yang mana. Arsen dengan raut bak seorang detektif yang telah menemukan siapa pelaku dalam kasusnya, dan Nina dengan raut ingin tahu. Akhirnya aku memilih menatap Arsen, “Iya, dia abang aku. Bang Galen.” Lalu berganti menatap Nina, “Nin, bakal aku jelasin kok. Tapi tolong jangan kaget, ya? Jangan teriak-teriak dan jangan beritahu siapapun, kamu juga Arsen.” Keduanya mengangguk dan mengacungkan jempol.
Sebelum pulang ke rumah, kami mampir ke sebuah kafe dekat sekolah. Tidak lupa kukirimkan sebuah pesan singkat kepada Bang Galen untuk tidak menjemputku. Tiga puluh menit ceritaku selesai. Melihat ekspresi wajah Nina sepertinya ia sangat shock. Arsen pun tidak mengatakan apapun, diam, hanya sesekali berdehem pelan. Aku bisa mengerti mengapa mereka seperti itu.
***
Pukul setengah sepuluh, Ayah pulang membawa sekotak donat. Aku mencomotnya satu yang rasa coklat kacang. Katanya itu pemberian dari atasan Ayah karena Ayah sering kerja lembur. Kebetulan aku sangat menyukai donat.
“Abangmu sisain, loh.”
Aku membulatkan bibir dan mengiyakan sambil mencomot donat kedua, rasa keju. Lalu Ayah masuk kamar menyusul Bunda yang sepertinya sudah tidur. Mataku masih segar, apalagi dengan datangnya sekotak donat. Sisi jahatku muncul, berbisik agar menghabiskan semua donat menggiurkan itu. Besok Abang suruh beli sendiri aja deh, pikirku akhirnya.
Acara televisi terasa membosankan, jadilah televisi yang menontonku, bukan sebaliknya. Langit bergemuruh, kurasa akan hujan lagi. Memang, akhir-akhir ini setiap malam pasti turun hujan. Mulai dari yang gerimis sampai yang seperti badai dengan angin kencang. Semoga malam ini hanya hujan sedang, karena Bang Galen belum pulang juga. Biasanya jam sembilan tadi sudah pulang, jam kerjanya habis. Mungkin sekarang sedang banyak pengunjung karena akhir pekan. Aku harap pagi tadi ia tidak lupa memasukkan jas hujan di bawah jok motornya. Donat ketiga kugigit, kali ini sirsak. Enak!
Suara mesin motor berhenti di teras rumah.
Tok! Tok!
Aku bergegas menuju pintu depan, pasti itu Bang Galen. Kujilat jari-jariku sebelum memegang kenop pintu. Tepat ketika pintu terbuka, tubuh seseorang ambruk. Bau alkohol samar-samar tercium. Ini Bang Galen, kan? Melihat jaket dan celana yang digunakan, tidak salah lagi, ini memang Bang Galen. Aku menyeret tubuhnya sampai ke sofa, lalu menidurkannya. Segera aku keluar untuk memasukkan motor ke dalam rumah, kemudian mengunci pintu. Rintik hujan berjatuhan, syukurlah Bang Galen sampai sebelum hujan.
Kondisi Bang Galen tidak seperti biasanya. Sungguh, ia tidak pernah sekusut ini sampai mabuk. Selelah-lelahnya ia hidup, tidak sampai menyentuh alkohol, paling mengurung diri dalam kamar sambil menonton anime. Harus kuapakan ia? Gawat kalau sampai Ayah dan Bunda tahu. Aku mencoba menepuk-nepuk kedua pipinya agar bangun.
“Abang, bangun. Bang Galen, bangun, ih.”
Tiba-tiba tangannya mencengkeram pergelangan tanganku. Kuat sekali. Aku meringis dan mencoba melepaskan cengkeramannya. Namun, sia-sia. Tubuhku ditarik hingga jatuh ke atasnya. Aku menahan napas.
“Abang, ngapain, sih? Bangun!” bisikku tertahan.
Aku mencoba bangkit, tapi ia seperti menahanku. Tiba-tiba daguku ditarik hingga bibirnya menyentuh bibirku dan melumatnya pelan. Apa-apaan ini?! batinku. Semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin ia melumat dan menggigiti bibirku. Tangannya berpindah dari dagu ke bahu, lalu dari bahu ke pinggang. Tubuhku merinding. Napasnya memburu, tapi anehnya, matanya tetap memejam. Aku hampir kehabisan napas hingga perlahan lumatannya memelan, napasnya berubah normal. Aku segera bernapas dan menjatuhkan diri ke karpet. Tangan dan kakiku gemetar. Aku menangis lirih, aku sangat takut. Kupaksakan untuk melangkahkan kaki menuju kamar, lalu menangis sepuasnya hingga tertidur.
Esoknya aku demam. Badanku panas. Bunda bilang, aku bisa izin tidak berangkat sekolah. Tapi aku tidak mau. Arsen akan menjemputku sebentar lagi. Segera kuhabiskan nasi gorengku. Semalam sepertinya Bang Galen berpindah ke kamar dan pagi ini—syukurlah—ia belum kelihatan, mungkin belum bangun.
Tok! Tok!
Bunda membuka pintu. Rupanya Arsen. Bunda menyuruhnya masuk dan bergabung sarapan dengan kami, tapi ia menolaknya dengan sopan. Aku meletakkan sendok dan meminum susu coklat di gelas. Kemudian kami pamit berangkat. Di perjalanan Arsen terus bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku hanya menggeleng dan menyandarkan dahiku ke punggungnya. Hampir saja aku terlelap ketika Arsen memarkirkan motornya di halaman parkir sekolah.
Sesampainya di kelas, Nina mempertanyakan hal yang serupa. Aku terus menggeleng lalu melipat lengan ke meja dan meletakkan kepalaku di atasnya. Kepalaku rasanya seperti ditindihi batu berton-ton.
“Dis, kamu mau nitip batagor nggak?” tanya Nina ketika bel istirahat berbunyi.
Aku menjawab lirih, “Nggak usah. Panggilin Arsen.”
Namun sebelum Nina berjalan ke luar kelas, Arsen sudah berlari menuju mejaku dengan bungkusan plastik putih di tangannya.
“Pangeranmu datang tuh, Dis.” Terdengar kekehan Nina. “Titip Gadis, Sen. Dia lagi nggak baik. Aku ke kantin dulu, laper.”
“Yoi.” Arsen duduk di depanku. “Hai, Dis, aku bawain batagor. Makan dulu coba.”
Aku diam, kepalaku berdenyut.
“Dis, ke UKS aja yuk? Nanti batagornya bawa pulang aja.”
Aku mencoba mengangkat kepalaku yang masih saja terasa berat. Kucoba menatap manik mata lelaki itu dalam-dalam. Tetapi pandanganku mulai berkunang-kunang...
“Sen, semalam—“
Dan menggelap.
Brugh!
“Dis!”
***
Langit-langit putih kusam adalah yang pertama kulihat setelah berhasil membuka kelopak mataku yang lengket. Tubuhku rasanya begitu berat. Pandanganku menelusuri tempat aku berbaring. Beberapa detik kemudian otakku baru menyadari kalau aku berada di UKS. Seorang gadis berkacamata memasuki UKS, melihatku yang juga sedang melihatnya dan berlari keluar. Selang beberapa lama, Arsen dan Nina masuk dengan raut khawatir.
“Kamu nggak pa-pa, Dis?” tanya Arsen mengelus rambutku. Aku mengangguk, mencoba mengukir senyum. “Minum dulu.” Kemudian ia membantuku duduk.
Nina duduk di samping ranjang, memegang tanganku, lalu berkata seolah aku akan mati, “Sumpah, kamu bikin kami khawatir, tau-tau pingsan gitu. Seharusnya kalau sakit nggak usah berangkat sekolah, izin kan bisa. Udah itu muka pucet banget kayak mayat.”
“Aku nggak pa-pa, Nina. Hehe, maaf bikin kalian khawatir.” Suaraku serak hampir tak terdengar.
“Jelasin apa yang terjadi semalam.” kata Arsen tiba-tiba.
Aku tahu, mau tidak mau aku harus menceritakannya kepada mereka. Kuatur napas pelan. Tidak lama kemudian mengalirlah ceritaku tentang peristiwa semalam.
“Gila…” Nina menutup mulutnya. Sebenarnya aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Air mataku sudah tumpah sampai habis pada malam itu. Arsen menatapku tidak percaya. Sudah kuduga ekspresi mereka akan seperti itu.
“Kamu belum ketemu dia lagi sejak malam itu?”
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum miring. “Kukira waktu aku jatuh cinta sama dia, digituin pun aku rela. Tapi kenyataannya aku benar-benar takut. Itu mimpi buruk terburuk yang pernah aku rasain.” Kuhela napas kasar. “Aku ingin jadi normal.”
Tiba-tiba Arsen memelukku erat, mengusap rambutku pelan dan berbisik menenangkan, “Aku janji bakal bantu kamu untuk jadi normal. Kamu nggak usah takut, ada aku.” Entah kenapa aku jadi terisak.
“Dis, kamu jangan takut. Kami akan selalu ada buat kamu.” Nina ikut memelukku. Aku balas memeluk erat mereka berdua.
“Tunggu,” Kulepaskan pelukan sambil menyedot ingus. “gimana caranya kalian bantu aku biar bias jadi normal?”
Hening. Dalam gerakan kilat Arsen mencolek hidungku. “Aku.”
“Kamu?”
“Aku bakal berusaha bikin kamu jatuh cinta sama aku.” Senyumnya mengembang, aku tidak bisa menahan kedua sudut bibirku untuk tidak ikut tertarik.
Nina berseru sambil mencolek-colek pipiku dan pipi Arsen, “Cieeeeeeeee!”
Kami terbahak dan kembali berpelukan erat.
Direvisi pada,
Purwokerto, 27 September 2019
Komentar
Posting Komentar