Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Hahahihi

Hahahihi Oleh: Syarifudin Emseh Hahahihi. Setiap hari, ketika bangun tidur, Iqan harus selalu berkata demikian (seperti suara orang tertawa) supaya menghindari dari gangguan kejiwaan yang bisa menyebabkan kematian. Orang-orang di tempat tinggalnya pun rentan akan penyakit kejiwaan sebab dunia selalu memenuhi isi kepala mereka hingga overload . Menjadi beban. Sehingga mau tak mau mereka harus tertawa. Humor adalah makanan pokok di tempat tinggalnya, setelah perangkat-perangkat keras. Jika sampai kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka ada saja kasus kematian konyol yang bakal tayang di televisi. Mulai dari mati karena makan sendok hingga mati karena terpeleset. Sebagian menganggap ironi, tapi di sisi lain ada juga yang menganggap kematian konyol adalah humor yang sangat segar. Tidak ada yang terlalu peduli dengan kematian, sebab orang-orang selalu mencari cara untuk tertawa. Dan di antara hal yang paling mulia ialah menjadi seorang komedian yang bisa menyelamatkan banyak orang

Melibatkanmu

MELIBATKANMU kuniatkan ini sebagai sajak pendek dan aku ingin berhenti bersendiri. maka ketika kutulis, selesai, aku ingin Kau menentukan bagian mana dari sajak ini yang mesti dipanjangkan, supaya tak berakhir percuma pada baris keenam. 2017 (Pasya Alfalaqi)

Larasati Mahaayu

Larasati Mahaayu   Oleh: Syarifudin Emseh             Minggu pagi yang cerah, di sudut sebuah desa, suara tambur meramaikan suasana. Larasati menari-nari gemulai diiringi para warga yang juga ikutan menari. Mereka semua dalam suasana yang gembira. Namun, suasana itu pecah akibat Larasati berhenti menari, tetapi suara tambur masih berbunyi sangat meriah.             “Mengapa berhenti menari?” tanya salah satu warga.             “Aku mau ke supermarket. Ingin membeli kosmetik,” jawab Larasati.             “Kau harus serius latihan, Larasati! Jangan seenaknya begitu!” seru pemain tambur.             Perkataan pemain tambur tak diindahkannya. Ia mengusap keringatnya sambil mengatur ritme pernafasannya. Dia duduk di sebuah kursi. Wajahnya sangat bercahaya disinari oleh cahaya matahari pagi itu. Kecantikannya benar-benar terpancar. Ia benar-benar tampak mempesona. Seluruh laki-laki yang melihatnya benar-benar kagum, sampai-sampai mata mereka mengeluarkan air mata karena tidak

Tiada Hamba Jadi Tuan

Tiada Hamba Jadi Tuan Oleh: Syarifudin Emseh Kesengsaraan yang dialami Tuan terasa seperti matahari yang jatuh menimpa kepalanya. Tubuhnya terbakar dahsyat, dan hangus, tanpa sisa apa pun. Kesengsaraan yang baru dialami Tuan kali ini ialah yang terberat ketika ia tahu bagaimana rasanya tidak menjadi tuan bagi hamba-hambanya. Kini Tuan menjadi abu yang terhempas dibuai angin menuju Langit. Bahkan Langit tiada sudi dan meludah di mukanya. Langit tidak butuh Tuan. Yang benar-benar dibutuhkan Langit saat ini ialah hamba-hamba yang mengabdi biarpun dalam kondisi yang lebih sengsara dibandingkan Tuan. Tiada muka Tuan di Langit pagi ini, siang ini, dan sampai kapan pun. Tiada bayang-bayang iblis dalam diri Tuan di hadapan para hambanya. Tiada Tuan di pohon-pohon. Tiada Tuan dalam waktu-waktu yang berat yang dirasakan oleh hamba-hamba. Hamba-hamba merasa bahwa rantai yang datang dari neraka sejak mereka lahir kini sudah terlepas. Mereka merasakan surga yang sederhana: kebebasan me